Senin, 24 Agustus 2015

Sigmund Freud ; Agama adalah Neurosis Kolektif






  • Dia yang berilmu dan berseni, Maka dia pun beragama, Tapi dia yang tak berilmu maupun berseni, Maka baiklah jika dia beragama  —  Goethe
  • apa yang tidak dapat kita perolehdari ilmu pengetahuan akan bias kita dapatkan di lain tempat  ---  Sigmund Freud



A. Pendahuluan

Sigmund Freud selalu menganggap dirinya seorang ateis.Dia bahkan mengatakan tidak pernah mengalami suatu perasaan “bagaikan samudera” (sentation of eternity)yang digambarkan banyak orang sebagai “sensasi akan kebaikan”.Meskipun Freud tidak punya perasaan religius namun dia sangat hormat terhadap agama dari kliennya---dalam praktek psikoanalisisnya dia memperlihatkan toleransi.Dia menyatakan bahwa psikoanalisis adalah suatu alat netral membantu pembebasan manusia, bukan senjata melawan keyakinan agama. Dalam praktek, dia mengijinkan pastor untuk melibatkan pasiennya dengan suatu agama: sublimasi religius kadang-kadang dapat menekan suatu neurosis individu.

Ketika Freud menyelidiki asal-usul agama, dia melihat agama hanya merupakan suatu produk imajinasi.  Bahwa realitas religius”bukan lain adalah sesuatu yang bersifat psikologis yang di proyeksikan kedunia luar.”Lalu bagaimana mungkin proyeksi itu terjadi?Menurut Freud, subjek dari proyeksi tersebut adalah suatu psike yang mengacuhkan dirinya sendiri dalam mengubah suatu kandungan yang pada kenyataannya merupakan milik psike itu sendiri, menjadi suatu realitas “supra-sensibel”  (supra-sensible).Dengan demikian agama tidak menyembunyikan suatu rahasia dan tidak tahan terhadap analisis---segera setelah seseorang menyentuhnya, ide tentang tuhan menghilang kedalam kepadatan psike manusia.

Kesimpulan Freud; “tuhan merupakan ciptaan kekuatan psike yang terdapat dalam diri manusia.”Mereka bekerja dibawah nama pinjaman, mereka hanyalah figuran:dari sisi samping, kita selalu (melihat Tuhan) sekilas sebagai figur dari seorang bapak. Prilaku Religius secara sosial merupakan suatu pengulangan hubungan anak-bapak yang dimantapkan.Tugas yang disusun Freud sendiri adalah mengeluarkan semua tuhan dari psike manusia.Apapun yang telah dibangun oleh agama, ilmu pengetahuan harus membongkarnya. Ilmu pengetahuan ”mengubah metafisika menjadi metapisikologi”, yaitu ilmu pengetahuan harus menerjemahkan teologi kedalam istilah-istilah psikoanalisis.



B.  Oedipus Complex

Perbedaan cara energy psike ditanamkan bukan pilihan yang dibuat secara bebas. Dari sini kemudian muncul konflik bagaimana  mengatur adaptasi satu dengan lainnya atau untuk mempengaruhi beberapa eliminasi atau untuk mencapai suatu keseimbangan.  Agama seperti neurosis, merupakan hasil dari sebuah kompromi.Bagaimana kompromi ini bisa muncul? Freud melalui Oeidipus Complex memberikan penjelasan; situasi konfliktual terjadi pada masa kecil sebagai tahap oedipal (oedipal stage) kira-kira usia empat atau lima tahun, suatu kedekatan afektif terhadap Ibunya dan  pertentangan yang diilhami-kebencian (hatred-inspired) terhadap Bapaknya.Ada saat ketika dia membangkitkan ide tentang cinta, dia beralih dengan sangat alami pada objek afektif pertama---ibunya---dan menyatakan objek ini sebagai hak milik ekslusifnya.Bapaknya kemudian tampak sebagai suatu lawan karena ibunya adalah milik Bapaknya dan akhirnya, Bapaknya menjadi sasaran permusuhan yang keras.  Kebencian ini membawa suatu hasrat nyata  untuk membunuh Bapaknya, Sang Bapak harus dihilangkan.  Tapi Sang Bapak adalah musuh yang sangat kuat yang mengontrol Sang Anak, Sang Anak harus menyerah  dan mematuhi kehendak (will) Bapaknya.


Neurosis adalah model yang digunakan Freud untuk menjelaskan fenomena agama.Dia percaya bahwa konflik Oedipus merupakan sumber tidak hanya bagi neurosis tapi juga bagi agama.Lewat penyelidikan historis dan mencoba menemukan suatu Konpleks Oedipus Kolektif dalam sejarah masa lalu ras manusia, Freud membuat hipotesa bahwa; sesuatu yang mirip dengan konflik oedipal telah terjadi pada awal sejarah ras manusia.Untuk menopang hipotesanya dengan fakta-fakta yang mebuatnya menjadi masuk akal, hipotesanya dianalisisdengan menggunakan system patriarkal dari Darwin dan mengambil analisis totem dari Robertson Smith. Dengan menggunakan  sistempatriarkal: Sang Bapak mempunyai semua otoritas dan memonopoli kenikmatan. Sang Anak tidak memiliki apapun dan tergantung kehendak baik Sang Bapak.Sang anak laki-laki, karena lelah untuk tunduk pada otoritas Sang Bapak dan dicabut nikmatnya, membentuk suatu kelompok untuk melawan Sang Bapak dan membunuhnya.Pembunuhan menjadikan suatu peradaban tapi sekaligus meninggalkan suatu tanda mendalam pada umat manusia.Trauma pembunuhan menimbulkan jejak dalam bentuk suatu perasaan bersalah.


Pembunuhan primal berlanjut menjadi suatu beban dalam kesadaran manusia.  Pembunuhan ini menciptakan perasaan bersalah dimana umat manusia tidak pernah berhasil membuangnya dan membimbing manusia menciptakan agama---sebagaimana banyak srategi lain untuk membebaskan manusia dari perasaan bersalah.  Perasaan akan kebebasan yang diharapkan, tidak pernah terjadi.  Ketaksadaran kolektif, yang menampakan diri dalam konteks ini lalu dialihkan dan agama menjadi cara untuk menetralkan suatu perasaan bersalah.  Agama adalah suatu usaha untuk mengusir perasaan bersalah yang disebabkan oleh pembunuhan dan untuk mewujudkan penyesalan karena tindakan itu.  Melalui analisisi totem dari  Robertson Smith, menurut Freud; totem selalu merepresentasikan Sang Bapak; pemakan totem merupakan suatu pesta  merayakan kemenangan Sang Anak laki-laki melawan Sang Bapak; Sang Anak laki-laki merayakan pembunuhan atas Bapaknya melalui acara makan (totem) yangsama mereka mengapropriasi kekuatan Sang Bapak untuk dari mereka sendiri. Segera setelah Sang Bapak dibunuh,  Sang Anak laki-laki lalu mengorganisasi kehidupan bersama mereka dan untuk mecegah retrogesi (kembali masa lalu) serta menjauh dari kekerasan, mereka lalu memantapkan aturan bagi kehidupan social---khususnya larangan inses dan pembunuhan. Dari sinilah awal dimulainya suatu peradaban (civilization).


Jika semua bukti gabungan diatas dibuat hukumnya, maka hipotesis Kompleks Oedipus (Oedipus Complex) ditetapkan bahwa;semua umat manusia mengalaminya---larangan inses dan pembunuhan  meyimpulkan eksitensi dari suatu kompleks semacam itu. Larangan inses dan pembunuhan  diidentifikasikan dalam tiga situasi dimana Freud ingin memperbandingkannya; tahap oedipal (represi cinta terhadap Sang Ibu dan kebencian terhadap Sang Bapak), neurosis (suatu fiksasi pada tahap oedipal dan suatu kristalisasi tahap ini dalam bentuk suatu kompleks) dan umat manusia primitif (yang menemukan dalam dua macam larangan sebagai satu-satunya jalan menghindari konfrontansi berdarah dan mendapat sirkulasi perempuan dan pertukaran perempuan di antara anggota-anggota suatu klan).  Penemuan unsur-unsur yang sama dalam berbagai situasi menegaskan Freud bahwa Kompleks Oedipus memunyai kesamaan di antara ketiganya. 




C.  Analisis antara Neurosis dan Agama
Agama suatu bentuk prilaku yang sejalan dengan prilaku neurosis.Apakah agama itu kalau bukan suatu ketaatan seremonial yang diatur secara ketat, suatu kepatuhan pada larangan, penerimaan pada ritual yang dikodifikasi dari mana sebuah tingkah dan kesalahan di keluarkan dari kodifikasi?Agama berkarakter “universal” sedang neurosis berkarakter “prifat” (private).Persamaa antara dua fenomena tersebut membawa Freud membuat hipotesis; mereka mempunyai suatu kesamaan asal-usul, sedang perbedaannya membawa dia untuk melihat akar neurosis dalam “Psike Individu” dan akar agama dalam “Psike Kolektif” yang dibentuk pada permulaan eksistensi ras dan tetap berlangsung pada semua umat manusia.Kedua fenomena secara dekat saling terhubungkan, tidak hanya pada tingkat gejala-gejala tapi juga pada tingkat sebab-sebab. Freud tidak ragu  merubah terminologi dan mendeskripsikan  “neurosis obsesionalsebagai suatu system religius privat dan agama sebagai suatu neurosis observasional yang universal.”Masing-masing istilah dapat saling mengantikan diantara keduanya tanpa mendistorsi realitas.

Satu-satunya jalan untuk kembali pada kesamaan asal-usul ini (baca eksis) adalah melalui psike itu sendiri---dalam situasi ini, sublimasi atau represi merupakan reaksi terhadap konflik oedipal.Freud menganggap bahwa Neurosis merupakan tanda dari suatu konflik.Neurosis suatu bentuk kesalahan, suatu prilaku yang dikembangkan oleh ego karena menghindari bahaya.Ego selalu mengartikan dirinya dalam suatu situasi membahayakan, sehinggaego harus tetap melalui jalannya sendiri sambil menghindari dua jebakan---satu ditentukan oleh id (suatu bak penampungan insting) yang lain ditentukan oleh super-ego (tuntutan yang dipaksakan oleh masyarakat). Ego selalu bimbang di antara insting seksual id(yang menuntut suatu pemuasan langsung yang maksimum) dan perintah super-ego (yang merespresentasikan tuntutan realitas dan mempunyai kekuatan hukum); merintangi, mencegah,melarang.Ego dapat dibandingkan dengan seorang borjuis jujur yang menjadi korban kebetulan dari suatu konfrontasi antara bangsat jahat (insting) dan polisi yang menyebalkan (aturan yang di keluarkan oleh super-ego).

Terperangkap dalam jalan di antara dua tuntutan yang saling berlawanan,ego secara konstan menghasilkan kompromi---neurosis salah satu jenis komromi.   Kompromi patologis yang di kembangkan ego demi mendapat kerugian dari insting (dimana ego dengan mati-matian merespresi insting). Kompromi lain adalah mungkin secara khusus dalam penanaman energi psike dalam bentuk aktifitas tertentu yang secara sosial dapat diterima: seni, sastra, pemujaan-diri (self-sacrifice).  Dalam neurosis, energy psike  suatu hastrat dipakai habis tapi dengan kerugian yang sedikit. Energi digunakan dalam suatu perjuangan luar biasa melawan hastrat itu sediri tanpa pernah egomencapai suatu keseimbangan yang memuaskan.Dalam agama, energy psike ini secara bermanfaat dijalankan dalam suatu pengabdian dengan maksud yang dapat diterima secara sosial.Dalam kasus ini kompromi dapat membawa pada suatu keseimbangan yang meguntungkan bagi ego.




D. Penutup

Melalui Kompleks Oedipus (Oedipus Complex), Freud mendapatkan akar kuno semua agama. Pada dasar setiap agama---termasuk dasar setiap neurosis---dapatditemukan ”inti-bapak” (father-nucleus). Bentuk agama-agama itu mungkin bervariasi tapi semua tumbuh dari akar psikologis yang sama.Walaupun  hipotesis Freud pada pembunuhan primal sebagai sumber dari suatu agama dengan maksudmembantu umat manusia mengatasi hubungan yang sulit dengan Sang Bapak, namun dia menekankan pada fungsi agama yang nyata yaitu; untuk menghibur orang-orang yang mengalami pengabdian hidup yang kasar.”Hidup sebagaimana kita ketahui, terlalu keras bagi kita, hidup membawa kita pada banyak penderitaan, kekecewaan dan tugas-tugas yang mustahil.” Menurut Freud, orang-orang mengalami kekerasan dengan tiga cara; mereka merasa dihancurkan oleh alam, terkutuk sampai mati dan terluka akibat hubungan dengan orang lain. Agamakemudian berusaha mengatasi tiga kesalahan ini dan mengusir takdir manusia yang keras; ”tuhan mempertahankan tiga macam tugasnya; mereka harus mengusir teror dari alam, mereka harus mendamaikan manusia dengan takdirnya yang keras, khususnya sebagaimana terlihat pada kasus kematian, dan mereka harus memberikan kompensasi pada manusia karena penderitaan dan kekurangannya yang telah dipaksakan pada manusia oleh keberadaban hidup secara umum.”


Maka, apa agama itu? Ia merupakan suatu ilusi, suatu harapan yang di ilhami,oleh suatu keinginan tertentu.   Agar hidup dapat dijalani, hasrat yang frustasi menciptakan suatu ilusi yang kita sebut agama---kepercayaan akan Tuhan yang baik dan kepercayaan akan keabadian. Beberapa orang mencari perlindungan dalam penderitaan, yang lain pada obat-obatan, sedang lainnya mencari hiburan.Kebanyakan orang mencoba menetralisir kekerasan hidup dengan mencari penghiburan melalui narkotik yang dikenal sebagai agama.Dengan mengarahkan pengikut-pengikutnya menjadi suatu mania kelompok, agama menyiapkan mereka untuk menjadi beban dari neurosis individu.

Umat manusia harus berusaha menjadi dewasa; pengiburan agama tidak lagi pantas mendapat kepercayaan dari umat manusia.Manusia harus memasuki tahap ilmiah dan mencoba menguasai dunia;apapun yang dipaksakan pada mereka, mereka harus tabah.mereka harus menerima kematiandemi satu hal, sebagai suatu nasib yang tak terelakkan.Freud mengharapkan suatu perkembangan semacam itu (tahap ilmiah) diantara orang terdidik. Ilmu pengetahuan tidak menjanjikan dalam kantungnya; ia hanya punya satu tugas untuk menentukan sesuatu di hadapan kita, “tapi suatu ilusi akan beranggapan bahwa apa yang tidak dapat kita perolehdari ilmu pengetahuan akan bias kita dapatkan di lain tempat”.  Seperti dilihat Freud, ilusi agama sedikit demi sedikit kehilangan pegangannya dalam pikiran umat manusia bersamaan  berlalunya waktu.


Alcapone, 29 Juli 2015

Sumber  ;

Marcel Neusch dalam; 10 Filsuf Pemberontak tuhan, Panta Rhei Books, Jogjakarta, 2004

Metafisika Al-Farabi ; Teori Emanasi





  • “Keabadian adalah waktu

  • Waktu, keabadian

  • Melihat keduanya sebagai pertentangan

  • Adalah kenakalan manusia”  ---  The Book of Angelius Silesius

 


A. Mengenal Al-Farabi

Al-FarabiatauAbu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh Al-Farabi  dikalanganlatin  dikenal dengan Abu Nashr (Abunasaer). Nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab---sebuah kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah. dilahirkan di desa Wasij di Distrik Farab (Utrar, provinsi Transoxiana, Turkestan) tahun 257 H (890M). Mendapat sebutan orang Turki sebab ayahnya  orang Iran menikah dengan wanita Turki. Ayahnya---keturunan Persia (kendatipun nama kakek dan kakek buyutnya menunjukkan nama Turki)---opsir tentara Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah Transoxiana wilayah otonom Bani Abbasyyah.Al-Farabi  menguasai 70 jenis bahasa dunia adalah; fisikawan, kimiawan, filsuf, ahli ilmu logika, ilmu jiwa, metafisika, politik, musik, dll. Di  Baghdad  selama 20 tahun memperdalam filsafat, logika, matematika, etika, ilmu politik, musik kemudian pindah ke Harran (Iran) mempelajari filsafat Yunani kepada beberapa ahli diantaranya Yuhana bin Hailan. Al-Farabi pindah ke Bukharauntuk studi fiqh---Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah  di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892) menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa ini Al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia serta pertama kali belajar musik---Kepakaran Al-Farabi di musik dibuktikan dengan karyanya Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936M. 


Setelah melepas jabatan qadhinya Al-Farabi berangkat ke Merv mendalami logika Aristotelian dan filsafat kepada Yuhanna ibn Hailan.Di bawah bimbingannya, Al-Farabi membaca teks-teks dasar logika Aristotelian---termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim sebelumnya.Dari Merv kemudian ke Bagdad sekitar tahun 900M.  Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932M), bersama gurunya di Konstantinopel memperdalam filsafat---sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian dan bergabung menjadi murid  sebelum kembali ke Bagdad.Karena situasi politik Bagdad yang memburuk pada akhir tahun 942 ia pindah ke Damaskus sebelum ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949M. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua Al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya sampai meninggal dunia pada bulan Rajab 339 H/Desember 950M pada usia 80 tahun dan dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota bagian selatan.




B.  Pendidikan Al Farabi

Al-Farabi menghabiskan masa kanak-kanak dan pendidikan dasarnya di Farab kemudian  melanjutkan pendidikannya di Bukhara dan  pendidikan tinggi di Baghdad. Di Baghdad, mempelajari bahasa Arab,Yunani, belajar tata bahasa Arab dari ahli tata bahasa dan linguistik, Abu Bakar ibn Saraj. Ia kemudian tertarik mempelajari filsafat kuno terutama filsafat Plato dan Aristoteles.  Al-Farabi mempelajari filsafat Aristoteles dan logika di bawah bimbingan filsuf terkenal, Abu Bishr Matta ibn Yunus. Komponen filsafat Platonik dan Aristotelian, ia padukan dengan ajaran dari  al-Qur'an dan al-Hadits. Selain musik dan filsafat, Al-Farabi juga mempelajari aritmatika, fisika, kimia, medis, dan astronomi.  Ketika kecil, beliau dikenal rajin belajar dan memiliki otak yang cerdas, belajar agama, bahasa Arab, bahasa Turki, dan bahasa Parsi  juga mempelajari Al Qur'an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqih, tafsir, dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar.Kurang puas dengan pendidikan di kota kelahirannya, Al-Farabi pindah ke Baghdad saat itu  merupakan pusat ilmu pengetahuan dan peradaban dan bertemu orang-orang terkenal dari beragam disiplin ilmu pengetahuan. Belajar bahasa dan sastra Arab dari Abu Bakr al-Sarraj; belajar logika dan filsafat dari Abu Bisyr Mattius (seorang Kristen Nestorian) yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani dan Yuhana bin Hailam (seorang filsuf Kristen).


Pendidikan dasarnya ditempuh di Farab, yang penduduknya bermazhab Syafii. Untuk memulai karir pengetahuannya, dia berhijrah dari negrinya ke Bagdad---kota Harran yang terletak di Utara Syria---pada tahun 922 M  waktu itu  sebagai kota Ilmu pengetahuan. Beliau belajar disana kurang lebih 10 tahun.Ia segera terkenal sebagai seorang filosof dan ilmuwan. Di Baghdad, berguru kepada Ibnu Suraj belajar tata bahasa Arab dan kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus belajar filsafat dan logika. Beliau juga belajar kepada seorang Kristen Nestorian, tokoh filsafat aliran Alexandria yang banyak menterjemahkan filsafat Yunani, yaitu Yuhana Ibn Hailan atau Yuhanna bin Jilad.---saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil---sekaligus mengajak Al-Farabi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantinopel, Al-Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar, dan menulis filsafat.



Al-Farabi banyak memberikan sumbangsih dalam penempaan sebuah bahasa filsafat baru dalam bahasa Arab meskipun menyadari perbedaan antara tata bahasa Arab dan Yunani.Menurut Ibn Abi Usaibi'ah di Damaskus Al-Farabi membawa manuskripnya Al-Madinah Al-Fadhilah yang mulai ditulis di Baghdad dan selesai tahun 942/3 M di Damaskus. Al-Farabi melakukan perjalanan ke Mesir  saat itu diperintah oleh Ikhsyidiyyah. Menurut Ibn Khallikan, di Mesir Al-Farabi menyelesaikan SiayasahAl-Madaniyyah yang mulai ditulis di Baghdad. Setelah meninggalkan Mesir, Al-Farabi bergabung dengan  filosof, penyair, dan sebagainya yang berada di sekitar Pangeran Hamdaniyyah Said Al-Daulah. Sebelum menetap di Baghdad, Al-Farabi telah berkeliling ke berbagai daerah seperti Iran, Mesir, dan India. Setelah 40 tahun lebih berada di Baghdad, Al-Farabi meninggalkan kota itu dan tinggal di Turkistan. Di sini ia menghasilkan karya terkenal at-Ta'lim ats-Tsani. Karena itulah ia mendapat julukan sebagai “mu'allim ats-tsani” dari Timur (guru kedua dari Timur). Al-Farabi kemudian menuju ke Syria, kemudian ke Mesir. Namun ia lalu kembali ke Syria dan bermukim di Allepo.



C.  Filsafat Al Farabi 

Al-Farabi sebagai filsuf besar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara menyeluruh dan mengupasnya dengan sempurna, Al-Farabi mendasarkan hidupnya atas kemurnian jiwa sebagai syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya.Al-Farabi mendefinisikan jiwa sebagaimana definisi Aristoteles sebagai ‘kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat; alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik’.Makna ‘jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi fisik---manusia menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak.Makna ‘mekanistik’ bahwa badan menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat yaitu anggota tubuh yang beragam.Sedang makna ‘memiliki kehidupan energik’ bahwa di dalam diri terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.

        Al-Farabi filsuf Islam pertama menghadapkan, mempertalikan, dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.Beliau berhasil menyusun sistematika konsepsi filsafat secara meyakinkan.Posisinya mirip dengan Plotinus (204-270 M) yang menjadi peletak filsafat pertama di dunia barat.Jika orang Arab menyebut Plotinus sebagai Syaikh al-Yunani (guru besar dari Yunani) maka mereka menyebut Al-Farabi sebagai al-Mu'allim al-Tsani (guru kedua). 'Guru pertama' disandang Aristoteles. Julukan 'guru kedua' diberikan pada Al-Farabi karena beliau adalah filsuf muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif antara pemikiran filsafat Aristoteles dan Plato (guru Aristoteles). 

Menurut filsuf Majid Fakhry, Al-Farabi dikelompokkan sebagai neoplatonis karena membuat sintesa pemikiran Plato dan Aristotelesmelalui risalahnya ‘Al-Jami’u baina ra’yay al-Hakimain Aflatun wa Aristhu’. Menurut Majid, untuk memahami pemikiran kedua filsuf Yunani tersebut Al-Farabi harus membaca karya-karya Plato dan Aristoteles berulang kali. Misalnya, Al-Farabi membaca On the Soul 200 kali dan Physics 40 kali. Tak heran jika ia mampu mendemonstrasikan dasar persinggungan Aristoteles dan Plato dalam sejumlah hal, seperti tentang penciptaan dunia, kekekalan ruh, maupun siksa dan pahala di akhirat. Al-Farabi tak hanya mampu memahami pemikiran Plato dan Arsitoteles ia juga  menuangkan pemikiran filsafatnya ke dalam kitab Fushush al-Hikam dan kitab al-Ihsha` al-'Ulum.  Kitab Fushush al-Hikam karya monumentalnya sebagai buku teks filsafat di berbagai institusi pendidikan sedang kitab al-Ihsha` al-'Ulum menjabarkan klasifikasi dan prinsip dasar sains secara unik dan cerdas. Karena itu tak heran jika pemikiran Al-Farabi banyak mempengaruhi para pemikir sesudahnya seperti  Ibnu Sina yang terpengaruh pemikiran metafisik Al-Farabi termasuk Abu Sulaiman as-Sijistani, Abu'l-Hasan Muhammad ibn Yusuf al-'Amiri, dan Abu Hayyan al-Tauhidi.

Dibidang filsafat, Al-Farabi tergolong ke dalam kelompok filsuf kemanusiaan karena mementingkan soal–soal kemanusiaan seperti akhlak (etika), kehidupan intelektual, politik, dan seni.Berfilsafat adalah memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai penciptanya. Dengan arah ke situ filsafat adalah ilmu satu-satunya yang menghamparkan di depan kita gambaran lengkap mengenai cakrawala dengan segala cosmosnya. Tujuan terpenting mempelajari filsafat ialah mengetahui Tuhan bahwa Ia Esa dan tidak bergerak,  Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya.  Al-Farabi mendefinisikan filsafat Al Ilmu Bilmaujudaat Bima Hiya Al Maujudaat; suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada. Bagi Al-Farabi tujuan filsafat dan agama sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang diyakini dan ditujukan kepada golongan tertentu sedang agama memakai cara iqna’i (pemuasan perasaan), dan kiasan-kiasan, serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang, bangsa, dan negara.

Sebagai campuran filsafat Aristoteles dan Neo–Platonisme dengan pikiran keislaman aliran Syiah Imamiah Al-Farabi meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles,---kelihatan bertentangan tetapi hakikatnya bersatu dalam tujuannya.  Bahkan para nabi / rasul maupun para flusuf menurut Al-Farabi sama–sama dapat berkomunikasi dengan akal Fa’’al, yakni akal ke sepuluh (malaikat).Perbedaannya, komunikasi nabi / rasul dengan akal kesepuluh terjadi melalui perantaraan imajinasi (al-mutakhayyilah) yang sangat kuat, sedang para filusuf berkomunikasi dengan akal kesepuluh melalui akal Mustafad---akal dengan kesanggupan menangkap inspirasi dari akal kesepuluh yang ada diluar diri manusia.




D. Teori Emanasi

Di antara pemikiran filsafat Al-Farabi yang terkenal adalah penjelasannya tentang emanasi(al-faid)suatuteori tentang proses urut–urutan kejadian suatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari Zat yang wajib al wujud (Tuhan). Menurutnya, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Segala sesuatu menurut Al-Farabi keluar (memancar) dari Tuhan karena Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik – baiknya. Ilmu-Nya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahui-Nya.Bagaimana emanasi itu terjadi?Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu benar – benar Esa  karena itu, yang keluar dari pada–Nya juga satu wujud saja. Kalau yang keluar dari zat Tuhan itu terbilang berarti zat Tuhan juga terbilang.Dasar adanya emanasi karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal yang  timbul dari Tuhan terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan.Teori ini menempati bagian penting dalam filsafat muslim yang menerangkan dua dunia--langit dan bumi---menafsirkan gejala gerakan dua perubahan. Ia merupakan dasar fisika dan astronomi. Bidang utama garapannya memecahkan masalah yang Esa dan yang banyak dan pembandingan antara yang berubah dan yang tetap.Al-Farabi berpendapat bahwa yang Esa, yaitu Tuhan, yang ada dengan sendiriNya. Karena itu, Iatidak memerlukan yang lain bagi adaNya atau keperluanNya. Ia mampu mengetahui diriNya sendiri. 

Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini muncul ‘akal-akal’ lain yang terjadi secara serentak---bukan proses yang lama tapi proses  serentak---menjadi serentetan akal-akal lainnya. Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, kemudian timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan Wujud Pertama (الوجودالأوُÙ„) dan dengan pemikiran itu timbul Wujud Kedua (الوجوداالثانى) yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut Akal Pertama atau  First Intelligence (العقلالأوُÙ„) yang tidak bersifat materi. Wujud Kedua ini berpikir tentang Wujud Pertama dan dari pemikiran ini timbul Wujud Ketiga (الوجودالثالث) disebut Akal Kedua atau Second Intellegence (العقلالثانى).




Wujud II/Akal I       ----- Tuhan     = Wujud III / Akal II
----- dirinya    =   Langit Pertama



Wujud III/Akal II     ----- Tuhan     = Wujud IV / Akal Ketiga
----- dirinya    =   bintang-bintang



Wujud IV/Akal III    ----- Tuhan     = Wujud V / Akal Keempat
----- dirinya    =   saturnus        



Wujud V/Akal IV    ----- Tuhan     = Wujud VI / Akal Kelima
----- dirinya    =    jupiter



Wujud VI/Akal V    ----- Tuhan     = Wujud VII / Akal Keenam
----- dirinya    =    mars



Wujud VII/Akal VI ----- Tuhan     = Wujud VIII / Akal Ketujuh
----- dirinya    =    matahari



Wujud VIII/Akal VII        ----- Tuhan     = Wujud IX / Akal Kedelapan
----- dirinya    =    venus



Wujud IX/Akal VIII ----- Tuhan     = Wujud X / Akal Kesembilan
----- dirinya    =    mercury



Wujud X/Akal IX     ----- Tuhan     = Wujud XI / Akal Kesepuluh
----- dirinya    =    bulan    



       
Pada pemikiran Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh---Al-Aqlul ‘Asyir (akal kesepuluh) dan dinamakan Al-Aqlul Fa’al (akal yang aktif bekerja) atau Active Intellect---berhenti terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh (Tuhan) muncullah (dirinya); bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur; api, udara, air dan tanah.  Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari Akal Kesepuluh---Aristoteles juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya, yaitu : gerak, makan nutrisi, memelihara, berkembang, mengetahui, merasa, imajinasi, berpikir, akal praktis, akal teoritis (theoritical intllect).Jumlah inteligensi adalah sepuluh terdiri atas inteligensi pertama dan sembilan inteligensi planet dan lingkungan.Melalui ajaran sepuluh inteligensi ini, Al-Farabi memecahkan masalah gerak dan perubahan.Ia menggunakan teori ini memecahkan masalah Yang Esa dan yang banyak, dan memadukan teori materi Aristoteles dengan ajaran Islam tentang penciptaan. 


Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan), yaitu keluarnya al-wujud (disebut alam) dari pancaran Wajib al-Wujud (Tuhan).Proses emanasi (pancaran) melalui tafakur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya sehingga Wajib al-Wujud diartikan 'Tuhan yang berpikir'. Tuhan senantiasa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan pada Tuhan:


1.      al-'Aql (akal) >> sebagai zat atau hakikat dari akal-akal
2.    al-'Aqil (yang berakal) >> sebagai subyek lahirnya akal-akal
3.    al-Ma'qul (yang menjadi sasaran akal) >> sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal.

Al Farabi membagi wujud-wujud ke dalam 2 kategori;pertamaesensinya tidak berfisik baik yang tidak menempati fisik (yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet) maupun yang menempati fisik (yaitu jiwa, bentuk, dan materi) kedua; esensinya berfisik yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat: api, udara, air, tanah.  Selanjutnya, Al-Farabi mengelompokkan akal menjadi dua;Pertama Akal Praktis; apa yang mesti di kerjakan dan Kedua Akal Teoritis; membantu menyempurnakan jiwa. Akal Teoritis terdiri atas;(a) Akal Fisik (material) atau di sebut  sebagai Akal Potensial, adalah jiwa atau bagian jiwa atau unsur yang mempunyai kekuatan mengabstraksi dan menyerap esensi pada setiap hal yang ada tanpa disertai materinya. Akal terbiasa/bakat (habitual), merupakan rasionalisasi dari akal fisik, ketika akal fisik telah mengabtraksi maka dengan begitu seseorang kemudian akan mencari objek untuk membuktikan fisik tersebut karena akal bakat/habitual/aktual akan menjadi aktif jika disandarkan pada objek rasio yang terpikirkan sedang objek rasio yang belum terpikirkan adalah potensi. (b)Akal Diperoleh (acquired) yaitu ketika Akal Aktual menghasilkan semua objek akal maka seseorang akan menjadi manusia sejati dengan mengunakan realisasi akal yang telah dikembangkan.



E. Teori Pengetahuan

Al-Farabi berpendapat bahwa jendela pengetahuan adalah indera, pengetahuan masuk ke dalam diri manusia melalui indera.Sementara pengetahuan totalitas terwujud melalui pengetahuan parsial atau pemahaman universal merupakan hasil penginderaan terhadap hal-hal yang parsial.Jiwa mengetahui dengan daya dan indera adalah jalan yang dimanfaatkan jiwa untuk memperoleh pengetahuan kemanusiaan.Tetapi penginderaan inderawi tidak memberikan kepada kita informasi tentang esensi segala sesuatu melainkan hanya memberikan sisi lahiriah segala sesuatu. Pengetahuan universal dan esensi segala sesuatu hanya  diperoleh melalui akal.Manusia memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk Pengetahuan Terpahami (ma’qulat) atau universal-universal.Potensi ini menjadi aktual jika disinari oleh Akal Aktif.Pencerahan oleh Akal Aktif memungkinkan transformasi serempak Akal potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya.Hubungan antara Akal Potensial dengan Akal Aktif seperti mata dengan matahari. Mata hanya kemampuan  potensial  untuk melihat selama dalam kegelapan lalu menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri.Di samping itu, pengetahuan manusia memilikiPengetahuan Primer yang kebenarannya tidak membutuhkan penalaran---misalnya  tiga adalah angka ganjil atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya.


Akal Potensial yang sudah disinari akan berubah menjadi bentuk yang sama dengan Pengetahuan Primer yang diterimanya sebagai bentuk tersebut---proses ini digambarkan  Al-Farabi seperti sepotong benda di lilin cair, benda tersebut tidak hanya tercetak di lilin, tapi juga merubah lilin cair  menjadi sebuah citra utuh benda tersebut sehingga  menjadi satu. Perolehan aktualitas oleh akal potensial  menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya berkaitan dengan Pengetahuan Primer tapi juga dengan Pengetahuan Terpahami. Pada tahap ini, Akal Aktual merefleksikan dirinya sendiri.Kandungan akal aktual adalah pengetahuan murni. Akal aktual dapat mengetahui dirinya sendiri karena ia merupakan akal sekaligus pengetahuan itu sendiri. Ketika akal aktual sampai pada tahap ini, ia menjadi Pengetahuan Perolehan (al-aql al-mustafad atau acquired intelect). Pengetahuan Perolehan merujuk pada Akal Aktual ketika mencapai tahap mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self-intelligible) dan bisa melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-inttellective). Pengetahuan Perolehan bentuk pengetahuan manusia paling tinggi. Pengetahuan Perolehan yang paling mirip dengan akal Aktif karena keduanya memiliki kandungan yang sama. Pengetahuan Perolehan tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan kekuatan fisik badani untuk aktifitas berpikirnya.




F. Karya Al-Farabi 

Sebagian besar karya Al-Farabi dipusatkan pada studi tentang logika.Al-Farabi menyatakan bahwa: ‘seni logika umumnya member aturan-aturan yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang besar dan mengarahkan manusia secara langsung kepada kebenaran dan menjauhkan dari kesalahan-kesalahan’. Menurrutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata, dan ilmu mantra dengan syair.Ia menekankan praktek dan penggunaan aspek logika, dengan menunjukkan bahwa pemahaman dapat diuji lewat aturan-aturannya, sebagaimana dimensi, volume, dan massa ditentukan oleh ukuran.

Karya Al-Farabi al-Ibanah 'an Ghardh Aristhu fi Kitab Ma Ba'da al-Thabi'ah (Penjelasan Maksud Pemikiran Aristoteles tentang Metafisika) membantu filsuf sesudahnya memahami pemikiran filsafat Yunani---Konon Ibnu Sina (filsuf besar sesudah Al-Farabi) membaca 40 kali buku metafisika Aristoteles, bahkan menghapalnya, tapi diakui  belum juga mengerti baru setelah membaca kitab karya Al -Farabi yang  menjelaskan maksud dari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku mulai paham pemikiran metafisik Aristoteles.  Al-Farabi juga menghasilkan karya terkenal Ara` Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Model Kota Idaman) tentang negara ideal bagi Muslim; mampu menyediakan kebutuhan warganya, membantu warga menjalankan ajaran agama dengan baik, pemimpin ideal bagi negara Muslim adalah raja yang memiliki pengetahuan tentang filsafat dengan kata lain, seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan tinggi, menguasai sains, filsafat, dan ilmu agama.Selain dikenal sebagai seorang filsuf, Al-Farabi juga dikenal sebagai pakar musik. Dialah penemu not musik. Temuan ini ia tulis dalam kitab al-Musiq al-Kabir (Buku Besar tentang Musik) membahas ilmu dasar musik rujukan  perkembangan musik klasik Barat. Dalam karya fenomenal itu, Al-Farabi menulis bahwa musik dapat menciptakan perasaan tenang dan nyaman.Musik mampu mempengaruhi moral, mengendalikan emosi, mengembangkan spiritualitas, dan menyembuhkan penyakit seperti gangguan psikosomatik karena itu musik bisa menjadi alat terapisebab, musik sesuatu yang muncul dari tabiat manusia dalam menangkap suara indah yang ada di sekelilingnya.Al-Farabi piawai memainkan sejumlah alat musik. Ketika memainkan alat musik, ia mampu membuat pendengarnya tertawa, bersedih, bahkan tertidur. Kemampuan ini pernah ia tunjukkan di depan penguasa Syria, Safy ad-Daulah, saat diundang ke istana menyaksikan pertunjukkan musik yang dimainkan oleh para musisi istana. Di mata Al-Farabi, para musisi istana melakukan kesalahan sehingga alunan musik kurang terdengar indah.Al-Farabi lalu meminta izin kepada amir (penguasa) Syria untuk memainkan alat musik.Saat Al-Farabi memainkannya, para hadirin tiba-tiba tertawa.Lalu Al-Farabi segera mengubah komposisi musiknya sehingga membuat hadirin menangis.Ia kemudian mengubah komposisinya lagi sehingga membuat hadirin tertidur.

Al-Farabi meninggalkan banyak karya tulis, yang secara garis besar bisa dikelompokkan dalam bebrapa tema, seperti logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, music, dan beberapa tulisan yang berisi tentang sanggahan pandangan filosof tertentu. Karya-karya Al-Farabi diantaranya adalah sebagai berikut:


1.                  Risalah Shudira Biha al Kitab (Risalah yang dengannya Kitab Berawal)

2.                Risalah fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha (Risalah tentang Jawaban atas Pertanyaan yang Diajukan tentang-Nya)

3.                Syarh Kitab al Sama’ al Tabi’I li Aristutalis (Komentar atas Fisika Aristoteles)

4.                Syarh Kitab al Sama’ wa al ‘Alam li Aristutalis (Bahasan atas Kitab Aristoteles tentang Langit dan Alam Raya)

5.                Al-Jami’u Baina Ra’yai Hakimain Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (Pertemuan/Penggabungan Pendapat antara Plato dan Aristoteles)

6.                Tahsilu as Sa’adah (Mencari Kebahagiaan)

7.                Fushus al Hikam (Permata Kebijaksanaan)

8.                Fususu al Taram (Hakikat Kebenaran)

9.                Kitab fi al Wahid wa al Wahdah (Kitab tentang Yang Satu dan Yang maha Esa)

10.           As Syiyasyah (Ilmu Politik)

11.               Kitab al Millat al Fadlilah (Kitab tentang Komunitas Utama)

12.            Ihsho’u Al Ulum (Kumpulan Berbagai Ilmu)

13.             Arroo’u Ahl al-Madinah Al-Fadilah (Pemikiran-Pemikiran Utama Pemerintahan).



Alcapone,  Maret  2013

Disampaikan dalam Dialog Akhir Bulan Maret 2013 Di Teras Ubermench Makassar.