- Dia yang berilmu dan berseni, Maka dia pun beragama, Tapi dia yang tak berilmu maupun berseni, Maka baiklah jika dia beragama — Goethe
- apa yang tidak dapat kita perolehdari ilmu pengetahuan akan bias kita dapatkan di lain tempat --- Sigmund Freud
A. Pendahuluan
Sigmund
Freud selalu menganggap dirinya seorang ateis.Dia bahkan mengatakan tidak pernah
mengalami suatu perasaan “bagaikan
samudera” (sentation of eternity)yang digambarkan banyak orang sebagai “sensasi
akan kebaikan”.Meskipun Freud tidak punya perasaan religius namun dia sangat
hormat terhadap agama dari kliennya---dalam praktek psikoanalisisnya dia
memperlihatkan toleransi.Dia menyatakan bahwa psikoanalisis adalah suatu alat
netral membantu pembebasan manusia, bukan senjata melawan keyakinan agama.
Dalam praktek, dia mengijinkan pastor untuk melibatkan pasiennya dengan suatu
agama: sublimasi religius kadang-kadang dapat menekan suatu neurosis individu.
Ketika
Freud menyelidiki asal-usul agama, dia melihat agama hanya merupakan suatu
produk imajinasi. Bahwa realitas
religius”bukan lain adalah sesuatu yang
bersifat psikologis yang di proyeksikan kedunia luar.”Lalu bagaimana mungkin
proyeksi itu terjadi?Menurut Freud, subjek dari proyeksi tersebut adalah suatu
psike yang mengacuhkan dirinya sendiri dalam mengubah suatu kandungan yang pada
kenyataannya merupakan milik psike itu sendiri, menjadi suatu realitas “supra-sensibel” (supra-sensible).Dengan demikian agama tidak menyembunyikan
suatu rahasia dan tidak tahan terhadap analisis---segera setelah seseorang
menyentuhnya, ide tentang tuhan menghilang kedalam kepadatan psike manusia.
Kesimpulan
Freud; “tuhan merupakan ciptaan kekuatan
psike yang terdapat dalam diri manusia.”Mereka bekerja dibawah nama
pinjaman, mereka hanyalah figuran:dari sisi samping, kita selalu (melihat
Tuhan) sekilas sebagai figur dari seorang bapak. Prilaku Religius secara sosial
merupakan suatu pengulangan hubungan anak-bapak yang dimantapkan.Tugas yang
disusun Freud sendiri adalah mengeluarkan semua tuhan dari psike manusia.Apapun
yang telah dibangun oleh agama, ilmu pengetahuan harus membongkarnya. Ilmu
pengetahuan ”mengubah metafisika menjadi metapisikologi”, yaitu ilmu
pengetahuan harus menerjemahkan teologi kedalam istilah-istilah psikoanalisis.
B. Oedipus
Complex
Perbedaan
cara energy psike ditanamkan bukan pilihan yang dibuat secara bebas. Dari sini
kemudian muncul konflik bagaimana
mengatur adaptasi satu dengan lainnya atau untuk mempengaruhi beberapa
eliminasi atau untuk mencapai suatu keseimbangan. Agama seperti neurosis, merupakan hasil dari
sebuah kompromi.Bagaimana kompromi ini bisa muncul? Freud melalui Oeidipus Complex memberikan penjelasan;
situasi konfliktual terjadi pada masa kecil sebagai tahap oedipal (oedipal stage)
kira-kira usia empat atau lima tahun, suatu kedekatan afektif terhadap Ibunya
dan pertentangan yang diilhami-kebencian
(hatred-inspired) terhadap Bapaknya.Ada saat ketika dia membangkitkan ide
tentang cinta, dia beralih dengan sangat alami pada objek afektif pertama---ibunya---dan
menyatakan objek ini sebagai hak milik ekslusifnya.Bapaknya kemudian tampak sebagai
suatu lawan karena ibunya adalah milik Bapaknya dan akhirnya, Bapaknya menjadi
sasaran permusuhan yang keras. Kebencian
ini membawa suatu hasrat nyata untuk
membunuh Bapaknya, Sang Bapak harus dihilangkan. Tapi Sang Bapak adalah musuh yang sangat kuat
yang mengontrol Sang Anak, Sang Anak harus menyerah dan mematuhi kehendak (will) Bapaknya.
Neurosis
adalah model yang digunakan Freud untuk menjelaskan fenomena agama.Dia percaya
bahwa konflik Oedipus merupakan sumber tidak hanya bagi neurosis tapi juga bagi
agama.Lewat penyelidikan historis dan mencoba menemukan suatu Konpleks Oedipus
Kolektif dalam sejarah masa lalu ras manusia, Freud membuat hipotesa bahwa; sesuatu yang mirip dengan konflik oedipal
telah terjadi pada awal sejarah ras manusia.Untuk menopang hipotesanya
dengan fakta-fakta yang mebuatnya menjadi masuk akal, hipotesanya dianalisisdengan
menggunakan system patriarkal dari Darwin dan mengambil analisis totem dari
Robertson Smith. Dengan menggunakan sistempatriarkal:
Sang Bapak mempunyai semua otoritas dan memonopoli kenikmatan. Sang Anak tidak
memiliki apapun dan tergantung kehendak baik Sang Bapak.Sang anak laki-laki,
karena lelah untuk tunduk pada otoritas Sang Bapak dan dicabut nikmatnya,
membentuk suatu kelompok untuk melawan Sang Bapak dan membunuhnya.Pembunuhan
menjadikan suatu peradaban tapi sekaligus meninggalkan suatu tanda mendalam
pada umat manusia.Trauma pembunuhan menimbulkan jejak dalam bentuk suatu
perasaan bersalah.
Pembunuhan
primal berlanjut menjadi suatu beban dalam kesadaran manusia. Pembunuhan ini menciptakan perasaan bersalah
dimana umat manusia tidak pernah berhasil membuangnya dan membimbing manusia
menciptakan agama---sebagaimana banyak srategi lain untuk membebaskan manusia
dari perasaan bersalah. Perasaan akan
kebebasan yang diharapkan, tidak pernah terjadi. Ketaksadaran kolektif, yang menampakan diri
dalam konteks ini lalu dialihkan dan agama menjadi cara untuk menetralkan suatu
perasaan bersalah. Agama adalah suatu
usaha untuk mengusir perasaan bersalah yang disebabkan oleh pembunuhan dan
untuk mewujudkan penyesalan karena tindakan itu. Melalui analisisi totem dari Robertson Smith, menurut Freud; totem selalu
merepresentasikan Sang Bapak; pemakan totem merupakan suatu pesta merayakan kemenangan Sang Anak laki-laki
melawan Sang Bapak; Sang Anak laki-laki merayakan pembunuhan atas Bapaknya melalui
acara makan (totem) yangsama mereka mengapropriasi kekuatan Sang Bapak untuk
dari mereka sendiri. Segera setelah Sang Bapak dibunuh, Sang Anak laki-laki lalu mengorganisasi
kehidupan bersama mereka dan untuk mecegah retrogesi (kembali masa lalu) serta
menjauh dari kekerasan, mereka lalu memantapkan aturan bagi kehidupan social---khususnya
larangan inses dan pembunuhan. Dari sinilah awal dimulainya suatu peradaban
(civilization).
Jika
semua bukti gabungan diatas dibuat hukumnya, maka hipotesis Kompleks Oedipus
(Oedipus Complex) ditetapkan bahwa;semua umat manusia mengalaminya---larangan
inses dan pembunuhan meyimpulkan
eksitensi dari suatu kompleks semacam itu. Larangan inses dan pembunuhan diidentifikasikan dalam tiga situasi dimana
Freud ingin memperbandingkannya; tahap oedipal
(represi cinta terhadap Sang Ibu dan kebencian terhadap Sang Bapak), neurosis (suatu fiksasi pada tahap
oedipal dan suatu kristalisasi tahap ini dalam bentuk suatu kompleks) dan umat manusia primitif (yang menemukan
dalam dua macam larangan sebagai satu-satunya jalan menghindari konfrontansi
berdarah dan mendapat sirkulasi perempuan dan pertukaran perempuan di antara
anggota-anggota suatu klan). Penemuan
unsur-unsur yang sama dalam berbagai situasi menegaskan Freud bahwa Kompleks
Oedipus memunyai kesamaan di antara ketiganya.
C. Analisis
antara Neurosis dan Agama
Agama
suatu bentuk prilaku yang sejalan dengan prilaku neurosis.Apakah agama itu
kalau bukan suatu ketaatan seremonial yang diatur secara ketat, suatu kepatuhan
pada larangan, penerimaan pada ritual yang dikodifikasi dari mana sebuah
tingkah dan kesalahan di keluarkan dari kodifikasi?Agama berkarakter “universal” sedang neurosis berkarakter “prifat” (private).Persamaa antara dua
fenomena tersebut membawa Freud membuat hipotesis; mereka mempunyai suatu
kesamaan asal-usul, sedang perbedaannya membawa dia untuk melihat akar neurosis
dalam “Psike Individu” dan akar agama
dalam “Psike Kolektif” yang dibentuk
pada permulaan eksistensi ras dan tetap berlangsung pada semua umat manusia.Kedua
fenomena secara dekat saling terhubungkan, tidak hanya pada tingkat
gejala-gejala tapi juga pada tingkat sebab-sebab. Freud tidak ragu merubah terminologi dan mendeskripsikan “neurosis
obsesionalsebagai suatu system religius privat dan agama sebagai suatu neurosis
observasional yang universal.”Masing-masing istilah dapat saling
mengantikan diantara keduanya tanpa mendistorsi realitas.
Satu-satunya
jalan untuk kembali pada kesamaan asal-usul ini (baca eksis) adalah melalui psike
itu sendiri---dalam situasi ini, sublimasi atau represi merupakan reaksi
terhadap konflik oedipal.Freud menganggap bahwa Neurosis merupakan tanda dari
suatu konflik.Neurosis suatu bentuk kesalahan, suatu prilaku yang dikembangkan
oleh ego karena menghindari bahaya.Ego selalu mengartikan dirinya dalam
suatu situasi membahayakan, sehinggaego
harus tetap melalui jalannya sendiri sambil menghindari dua jebakan---satu ditentukan
oleh id (suatu bak penampungan
insting) yang lain ditentukan oleh super-ego
(tuntutan yang dipaksakan oleh masyarakat). Ego
selalu bimbang di antara insting seksual id(yang
menuntut suatu pemuasan langsung yang maksimum) dan perintah super-ego (yang merespresentasikan
tuntutan realitas dan mempunyai kekuatan hukum); merintangi, mencegah,melarang.Ego dapat dibandingkan dengan seorang
borjuis jujur yang menjadi korban kebetulan dari suatu konfrontasi antara
bangsat jahat (insting) dan polisi yang menyebalkan (aturan yang di keluarkan
oleh super-ego).
Terperangkap
dalam jalan di antara dua tuntutan yang saling berlawanan,ego secara konstan menghasilkan kompromi---neurosis salah satu
jenis komromi. Kompromi patologis yang
di kembangkan ego demi mendapat
kerugian dari insting (dimana ego
dengan mati-matian merespresi insting). Kompromi lain adalah mungkin secara
khusus dalam penanaman energi psike dalam bentuk aktifitas tertentu yang secara
sosial dapat diterima: seni, sastra, pemujaan-diri (self-sacrifice). Dalam neurosis, energy psike suatu hastrat dipakai habis tapi dengan
kerugian yang sedikit. Energi digunakan dalam suatu perjuangan luar biasa
melawan hastrat itu sediri tanpa pernah egomencapai
suatu keseimbangan yang memuaskan.Dalam agama, energy psike ini secara
bermanfaat dijalankan dalam suatu pengabdian dengan maksud yang dapat diterima
secara sosial.Dalam kasus ini kompromi dapat membawa pada suatu keseimbangan
yang meguntungkan bagi ego.
D. Penutup
Melalui
Kompleks Oedipus (Oedipus Complex), Freud mendapatkan akar kuno semua agama.
Pada dasar setiap agama---termasuk dasar setiap neurosis---dapatditemukan
”inti-bapak” (father-nucleus). Bentuk agama-agama itu mungkin bervariasi tapi
semua tumbuh dari akar psikologis yang sama.Walaupun hipotesis Freud pada pembunuhan primal
sebagai sumber dari suatu agama dengan maksudmembantu umat manusia mengatasi
hubungan yang sulit dengan Sang Bapak, namun dia menekankan pada fungsi agama
yang nyata yaitu; untuk menghibur orang-orang
yang mengalami pengabdian hidup yang kasar.”Hidup sebagaimana kita ketahui,
terlalu keras bagi kita, hidup membawa kita pada banyak penderitaan, kekecewaan
dan tugas-tugas yang mustahil.” Menurut Freud, orang-orang mengalami kekerasan
dengan tiga cara; mereka merasa dihancurkan oleh alam, terkutuk sampai mati dan
terluka akibat hubungan dengan orang lain. Agamakemudian berusaha mengatasi
tiga kesalahan ini dan mengusir takdir manusia yang keras; ”tuhan mempertahankan
tiga macam tugasnya; mereka harus mengusir teror dari alam, mereka harus
mendamaikan manusia dengan takdirnya yang keras, khususnya sebagaimana terlihat
pada kasus kematian, dan mereka harus memberikan kompensasi pada manusia karena
penderitaan dan kekurangannya yang telah dipaksakan pada manusia oleh keberadaban
hidup secara umum.”
Maka, apa agama itu? Ia merupakan suatu
ilusi, suatu harapan yang di ilhami,oleh suatu keinginan tertentu. Agar hidup dapat dijalani, hasrat yang
frustasi menciptakan suatu ilusi yang kita sebut agama---kepercayaan akan Tuhan
yang baik dan kepercayaan akan keabadian. Beberapa orang mencari perlindungan
dalam penderitaan, yang lain pada obat-obatan, sedang lainnya mencari hiburan.Kebanyakan
orang mencoba menetralisir kekerasan hidup dengan mencari penghiburan melalui
narkotik yang dikenal sebagai agama.Dengan mengarahkan pengikut-pengikutnya
menjadi suatu mania kelompok, agama menyiapkan mereka untuk menjadi beban dari
neurosis individu.
Umat manusia harus berusaha menjadi
dewasa; pengiburan agama tidak lagi pantas mendapat kepercayaan dari umat
manusia.Manusia harus memasuki tahap ilmiah dan mencoba menguasai dunia;apapun
yang dipaksakan pada mereka, mereka harus tabah.mereka harus menerima kematiandemi
satu hal, sebagai suatu nasib yang tak terelakkan.Freud mengharapkan suatu
perkembangan semacam itu (tahap ilmiah) diantara orang terdidik. Ilmu
pengetahuan tidak menjanjikan dalam kantungnya; ia hanya punya satu tugas untuk
menentukan sesuatu di hadapan kita, “tapi suatu ilusi akan beranggapan bahwa apa yang tidak dapat kita perolehdari ilmu
pengetahuan akan bias kita dapatkan di lain tempat”. Seperti dilihat Freud, ilusi agama sedikit
demi sedikit kehilangan pegangannya dalam pikiran umat manusia bersamaan berlalunya waktu.
Alcapone, 29 Juli 2015
Sumber ;
Marcel Neusch dalam; 10 Filsuf Pemberontak tuhan, Panta Rhei
Books, Jogjakarta, 2004