Senin, 24 Agustus 2015

Sigmund Freud ; Agama adalah Neurosis Kolektif






  • Dia yang berilmu dan berseni, Maka dia pun beragama, Tapi dia yang tak berilmu maupun berseni, Maka baiklah jika dia beragama  —  Goethe
  • apa yang tidak dapat kita perolehdari ilmu pengetahuan akan bias kita dapatkan di lain tempat  ---  Sigmund Freud



A. Pendahuluan

Sigmund Freud selalu menganggap dirinya seorang ateis.Dia bahkan mengatakan tidak pernah mengalami suatu perasaan “bagaikan samudera” (sentation of eternity)yang digambarkan banyak orang sebagai “sensasi akan kebaikan”.Meskipun Freud tidak punya perasaan religius namun dia sangat hormat terhadap agama dari kliennya---dalam praktek psikoanalisisnya dia memperlihatkan toleransi.Dia menyatakan bahwa psikoanalisis adalah suatu alat netral membantu pembebasan manusia, bukan senjata melawan keyakinan agama. Dalam praktek, dia mengijinkan pastor untuk melibatkan pasiennya dengan suatu agama: sublimasi religius kadang-kadang dapat menekan suatu neurosis individu.

Ketika Freud menyelidiki asal-usul agama, dia melihat agama hanya merupakan suatu produk imajinasi.  Bahwa realitas religius”bukan lain adalah sesuatu yang bersifat psikologis yang di proyeksikan kedunia luar.”Lalu bagaimana mungkin proyeksi itu terjadi?Menurut Freud, subjek dari proyeksi tersebut adalah suatu psike yang mengacuhkan dirinya sendiri dalam mengubah suatu kandungan yang pada kenyataannya merupakan milik psike itu sendiri, menjadi suatu realitas “supra-sensibel”  (supra-sensible).Dengan demikian agama tidak menyembunyikan suatu rahasia dan tidak tahan terhadap analisis---segera setelah seseorang menyentuhnya, ide tentang tuhan menghilang kedalam kepadatan psike manusia.

Kesimpulan Freud; “tuhan merupakan ciptaan kekuatan psike yang terdapat dalam diri manusia.”Mereka bekerja dibawah nama pinjaman, mereka hanyalah figuran:dari sisi samping, kita selalu (melihat Tuhan) sekilas sebagai figur dari seorang bapak. Prilaku Religius secara sosial merupakan suatu pengulangan hubungan anak-bapak yang dimantapkan.Tugas yang disusun Freud sendiri adalah mengeluarkan semua tuhan dari psike manusia.Apapun yang telah dibangun oleh agama, ilmu pengetahuan harus membongkarnya. Ilmu pengetahuan ”mengubah metafisika menjadi metapisikologi”, yaitu ilmu pengetahuan harus menerjemahkan teologi kedalam istilah-istilah psikoanalisis.



B.  Oedipus Complex

Perbedaan cara energy psike ditanamkan bukan pilihan yang dibuat secara bebas. Dari sini kemudian muncul konflik bagaimana  mengatur adaptasi satu dengan lainnya atau untuk mempengaruhi beberapa eliminasi atau untuk mencapai suatu keseimbangan.  Agama seperti neurosis, merupakan hasil dari sebuah kompromi.Bagaimana kompromi ini bisa muncul? Freud melalui Oeidipus Complex memberikan penjelasan; situasi konfliktual terjadi pada masa kecil sebagai tahap oedipal (oedipal stage) kira-kira usia empat atau lima tahun, suatu kedekatan afektif terhadap Ibunya dan  pertentangan yang diilhami-kebencian (hatred-inspired) terhadap Bapaknya.Ada saat ketika dia membangkitkan ide tentang cinta, dia beralih dengan sangat alami pada objek afektif pertama---ibunya---dan menyatakan objek ini sebagai hak milik ekslusifnya.Bapaknya kemudian tampak sebagai suatu lawan karena ibunya adalah milik Bapaknya dan akhirnya, Bapaknya menjadi sasaran permusuhan yang keras.  Kebencian ini membawa suatu hasrat nyata  untuk membunuh Bapaknya, Sang Bapak harus dihilangkan.  Tapi Sang Bapak adalah musuh yang sangat kuat yang mengontrol Sang Anak, Sang Anak harus menyerah  dan mematuhi kehendak (will) Bapaknya.


Neurosis adalah model yang digunakan Freud untuk menjelaskan fenomena agama.Dia percaya bahwa konflik Oedipus merupakan sumber tidak hanya bagi neurosis tapi juga bagi agama.Lewat penyelidikan historis dan mencoba menemukan suatu Konpleks Oedipus Kolektif dalam sejarah masa lalu ras manusia, Freud membuat hipotesa bahwa; sesuatu yang mirip dengan konflik oedipal telah terjadi pada awal sejarah ras manusia.Untuk menopang hipotesanya dengan fakta-fakta yang mebuatnya menjadi masuk akal, hipotesanya dianalisisdengan menggunakan system patriarkal dari Darwin dan mengambil analisis totem dari Robertson Smith. Dengan menggunakan  sistempatriarkal: Sang Bapak mempunyai semua otoritas dan memonopoli kenikmatan. Sang Anak tidak memiliki apapun dan tergantung kehendak baik Sang Bapak.Sang anak laki-laki, karena lelah untuk tunduk pada otoritas Sang Bapak dan dicabut nikmatnya, membentuk suatu kelompok untuk melawan Sang Bapak dan membunuhnya.Pembunuhan menjadikan suatu peradaban tapi sekaligus meninggalkan suatu tanda mendalam pada umat manusia.Trauma pembunuhan menimbulkan jejak dalam bentuk suatu perasaan bersalah.


Pembunuhan primal berlanjut menjadi suatu beban dalam kesadaran manusia.  Pembunuhan ini menciptakan perasaan bersalah dimana umat manusia tidak pernah berhasil membuangnya dan membimbing manusia menciptakan agama---sebagaimana banyak srategi lain untuk membebaskan manusia dari perasaan bersalah.  Perasaan akan kebebasan yang diharapkan, tidak pernah terjadi.  Ketaksadaran kolektif, yang menampakan diri dalam konteks ini lalu dialihkan dan agama menjadi cara untuk menetralkan suatu perasaan bersalah.  Agama adalah suatu usaha untuk mengusir perasaan bersalah yang disebabkan oleh pembunuhan dan untuk mewujudkan penyesalan karena tindakan itu.  Melalui analisisi totem dari  Robertson Smith, menurut Freud; totem selalu merepresentasikan Sang Bapak; pemakan totem merupakan suatu pesta  merayakan kemenangan Sang Anak laki-laki melawan Sang Bapak; Sang Anak laki-laki merayakan pembunuhan atas Bapaknya melalui acara makan (totem) yangsama mereka mengapropriasi kekuatan Sang Bapak untuk dari mereka sendiri. Segera setelah Sang Bapak dibunuh,  Sang Anak laki-laki lalu mengorganisasi kehidupan bersama mereka dan untuk mecegah retrogesi (kembali masa lalu) serta menjauh dari kekerasan, mereka lalu memantapkan aturan bagi kehidupan social---khususnya larangan inses dan pembunuhan. Dari sinilah awal dimulainya suatu peradaban (civilization).


Jika semua bukti gabungan diatas dibuat hukumnya, maka hipotesis Kompleks Oedipus (Oedipus Complex) ditetapkan bahwa;semua umat manusia mengalaminya---larangan inses dan pembunuhan  meyimpulkan eksitensi dari suatu kompleks semacam itu. Larangan inses dan pembunuhan  diidentifikasikan dalam tiga situasi dimana Freud ingin memperbandingkannya; tahap oedipal (represi cinta terhadap Sang Ibu dan kebencian terhadap Sang Bapak), neurosis (suatu fiksasi pada tahap oedipal dan suatu kristalisasi tahap ini dalam bentuk suatu kompleks) dan umat manusia primitif (yang menemukan dalam dua macam larangan sebagai satu-satunya jalan menghindari konfrontansi berdarah dan mendapat sirkulasi perempuan dan pertukaran perempuan di antara anggota-anggota suatu klan).  Penemuan unsur-unsur yang sama dalam berbagai situasi menegaskan Freud bahwa Kompleks Oedipus memunyai kesamaan di antara ketiganya. 




C.  Analisis antara Neurosis dan Agama
Agama suatu bentuk prilaku yang sejalan dengan prilaku neurosis.Apakah agama itu kalau bukan suatu ketaatan seremonial yang diatur secara ketat, suatu kepatuhan pada larangan, penerimaan pada ritual yang dikodifikasi dari mana sebuah tingkah dan kesalahan di keluarkan dari kodifikasi?Agama berkarakter “universal” sedang neurosis berkarakter “prifat” (private).Persamaa antara dua fenomena tersebut membawa Freud membuat hipotesis; mereka mempunyai suatu kesamaan asal-usul, sedang perbedaannya membawa dia untuk melihat akar neurosis dalam “Psike Individu” dan akar agama dalam “Psike Kolektif” yang dibentuk pada permulaan eksistensi ras dan tetap berlangsung pada semua umat manusia.Kedua fenomena secara dekat saling terhubungkan, tidak hanya pada tingkat gejala-gejala tapi juga pada tingkat sebab-sebab. Freud tidak ragu  merubah terminologi dan mendeskripsikan  “neurosis obsesionalsebagai suatu system religius privat dan agama sebagai suatu neurosis observasional yang universal.”Masing-masing istilah dapat saling mengantikan diantara keduanya tanpa mendistorsi realitas.

Satu-satunya jalan untuk kembali pada kesamaan asal-usul ini (baca eksis) adalah melalui psike itu sendiri---dalam situasi ini, sublimasi atau represi merupakan reaksi terhadap konflik oedipal.Freud menganggap bahwa Neurosis merupakan tanda dari suatu konflik.Neurosis suatu bentuk kesalahan, suatu prilaku yang dikembangkan oleh ego karena menghindari bahaya.Ego selalu mengartikan dirinya dalam suatu situasi membahayakan, sehinggaego harus tetap melalui jalannya sendiri sambil menghindari dua jebakan---satu ditentukan oleh id (suatu bak penampungan insting) yang lain ditentukan oleh super-ego (tuntutan yang dipaksakan oleh masyarakat). Ego selalu bimbang di antara insting seksual id(yang menuntut suatu pemuasan langsung yang maksimum) dan perintah super-ego (yang merespresentasikan tuntutan realitas dan mempunyai kekuatan hukum); merintangi, mencegah,melarang.Ego dapat dibandingkan dengan seorang borjuis jujur yang menjadi korban kebetulan dari suatu konfrontasi antara bangsat jahat (insting) dan polisi yang menyebalkan (aturan yang di keluarkan oleh super-ego).

Terperangkap dalam jalan di antara dua tuntutan yang saling berlawanan,ego secara konstan menghasilkan kompromi---neurosis salah satu jenis komromi.   Kompromi patologis yang di kembangkan ego demi mendapat kerugian dari insting (dimana ego dengan mati-matian merespresi insting). Kompromi lain adalah mungkin secara khusus dalam penanaman energi psike dalam bentuk aktifitas tertentu yang secara sosial dapat diterima: seni, sastra, pemujaan-diri (self-sacrifice).  Dalam neurosis, energy psike  suatu hastrat dipakai habis tapi dengan kerugian yang sedikit. Energi digunakan dalam suatu perjuangan luar biasa melawan hastrat itu sediri tanpa pernah egomencapai suatu keseimbangan yang memuaskan.Dalam agama, energy psike ini secara bermanfaat dijalankan dalam suatu pengabdian dengan maksud yang dapat diterima secara sosial.Dalam kasus ini kompromi dapat membawa pada suatu keseimbangan yang meguntungkan bagi ego.




D. Penutup

Melalui Kompleks Oedipus (Oedipus Complex), Freud mendapatkan akar kuno semua agama. Pada dasar setiap agama---termasuk dasar setiap neurosis---dapatditemukan ”inti-bapak” (father-nucleus). Bentuk agama-agama itu mungkin bervariasi tapi semua tumbuh dari akar psikologis yang sama.Walaupun  hipotesis Freud pada pembunuhan primal sebagai sumber dari suatu agama dengan maksudmembantu umat manusia mengatasi hubungan yang sulit dengan Sang Bapak, namun dia menekankan pada fungsi agama yang nyata yaitu; untuk menghibur orang-orang yang mengalami pengabdian hidup yang kasar.”Hidup sebagaimana kita ketahui, terlalu keras bagi kita, hidup membawa kita pada banyak penderitaan, kekecewaan dan tugas-tugas yang mustahil.” Menurut Freud, orang-orang mengalami kekerasan dengan tiga cara; mereka merasa dihancurkan oleh alam, terkutuk sampai mati dan terluka akibat hubungan dengan orang lain. Agamakemudian berusaha mengatasi tiga kesalahan ini dan mengusir takdir manusia yang keras; ”tuhan mempertahankan tiga macam tugasnya; mereka harus mengusir teror dari alam, mereka harus mendamaikan manusia dengan takdirnya yang keras, khususnya sebagaimana terlihat pada kasus kematian, dan mereka harus memberikan kompensasi pada manusia karena penderitaan dan kekurangannya yang telah dipaksakan pada manusia oleh keberadaban hidup secara umum.”


Maka, apa agama itu? Ia merupakan suatu ilusi, suatu harapan yang di ilhami,oleh suatu keinginan tertentu.   Agar hidup dapat dijalani, hasrat yang frustasi menciptakan suatu ilusi yang kita sebut agama---kepercayaan akan Tuhan yang baik dan kepercayaan akan keabadian. Beberapa orang mencari perlindungan dalam penderitaan, yang lain pada obat-obatan, sedang lainnya mencari hiburan.Kebanyakan orang mencoba menetralisir kekerasan hidup dengan mencari penghiburan melalui narkotik yang dikenal sebagai agama.Dengan mengarahkan pengikut-pengikutnya menjadi suatu mania kelompok, agama menyiapkan mereka untuk menjadi beban dari neurosis individu.

Umat manusia harus berusaha menjadi dewasa; pengiburan agama tidak lagi pantas mendapat kepercayaan dari umat manusia.Manusia harus memasuki tahap ilmiah dan mencoba menguasai dunia;apapun yang dipaksakan pada mereka, mereka harus tabah.mereka harus menerima kematiandemi satu hal, sebagai suatu nasib yang tak terelakkan.Freud mengharapkan suatu perkembangan semacam itu (tahap ilmiah) diantara orang terdidik. Ilmu pengetahuan tidak menjanjikan dalam kantungnya; ia hanya punya satu tugas untuk menentukan sesuatu di hadapan kita, “tapi suatu ilusi akan beranggapan bahwa apa yang tidak dapat kita perolehdari ilmu pengetahuan akan bias kita dapatkan di lain tempat”.  Seperti dilihat Freud, ilusi agama sedikit demi sedikit kehilangan pegangannya dalam pikiran umat manusia bersamaan  berlalunya waktu.


Alcapone, 29 Juli 2015

Sumber  ;

Marcel Neusch dalam; 10 Filsuf Pemberontak tuhan, Panta Rhei Books, Jogjakarta, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar