- Bahasa adalah ibu dari pemikiran, bukan dayang-dayangnya --- Karl Kraus
- Piranti dasar untuk memanipulasi kenyataan adalah manipulasi kata-kata. Jika anda dapat mengendalikan makna kata, Anda dapat mengendalikan orang-orang yang harus menggunakan kata-kata itu --- Philip K. Dick
- Saya dan publik saya saling memahami dengan sangat baik; mereka tidak mendengar apa yang saya katakan, dan saya tidak mengatakan apa yang ingin mereka dengar --- Karl Kraus
1.
Pendahuluan
Paul Ricoeur pemikirannya melingkupi hampir semua topik
filsafat kontemporer sehingga dinobatkan sebagai pemenang hadiah Balzan Price For Philisophy tahun
1999.Dalam wilayah studi hermeneutik, Ricoeur
menyumbangkan bukan hanya gagasan-gagasan (ideas) baru bahkan wawasan
(insight) baru.Joseph Bleicher dalam
Contemporary Hermeneutics (1981) menempatkan pemikiran Ricoeur diluar tiga
tradisi pemikiran hermeneutic; Hermeneutika Metodologis, Hermeneutika Filosofis
dan Hermeneutika Kritis.Dalam genealogi intelektual, pemikirannya selalu
merupakan aksi sekaligus reaksi terhadap wacana yang sudah ada.Mengikuti penjelasan
Bleicher, pemikiran Ricoeur dianggap menjembatani perdebatan hermeneutika
antara tradisi metodologis dan tradisi filosofis yang masing-masing di wakili
oleh Emilio Betti dan Hans-Georg Gadamer. Di satu sisi Ricoeur bersama Betti
bahwa hermeneutika adalah kajian untuk menyingkap makna objektif dari teks-teks
yang memiliki jarak ruang dan waktu dari pembaca, disisi lainia diposisi Gadamer bahwa seiring perjalanan
waktu niat awal penulis sudah tidak lagi digunakan sebagai acuan utama dalam
memahami teks.
Ricoeur juga di anggap mediator tradisi
Hermeneutika Romantis Schleiermacher dan
Dilthey dengan Hermeneutika Filosofis Martin Heideger. Mengikuti Dilthey,
Ricoeur menempatkan hermeneutika sebagai kajian terhadap ekspresi kehidupan
yang terbakukan dalam bahasa (Linguistically Fixed Expression of Life), namun
ia tidakberhenti pada langkah psikologisme untuk merekonstruksi pengalaman
penulis (seperti Schleiermacher) maupun usaha penemuan diri sendiri pada diri
orang lain (seperti Dilthey), selanjutnya menyingkap potensi ada atau eksitensi
(seperti Heidegger).Bahkan, Ricoeur dianggap perpaduan duatradisi filsafat besar; Fenomenologi Jerman
dan Strukturalisme Perancis. Dari arah fenomenologi, Ricoeur memadukan tendensi
metafisik Cartesian Edmund Husserl dan tendensi eksitensial Heidegger sedang
dari strukturalisme ia mengadopsi baik aliran linguistikFerdinand de Saussure
maupun aliran antropologis Claude Levi-Strauss. Sebagi tambahan, Ricoeur juga mengakomodir tendensi kritik ideologi
disatu sisi dan psikoanalisis disisi lain untuk melakukan eksplorasi isi pada
kajian hermeneutika yang ia lakukan.
2. Ricoeur dan Hermeneutical Despute
Dua tema sentral pemikiran hermeneutika
Ricoeur yaitu apa yang ia sebut sebagai jalan panjang hermeneutika dan problema
sentral dalam hermeneutika yaitu; hubungan antara bahasa lisan dan metafor di
satu sisi dengan bahasa tulisan dan teks di sisi lain.Proyek utama Ricoeur, mencangkokkan
hermeneutika dengan fenomenologi.Ricoeur menganggap bahwa persoalan hermeneutika
sejarahnya sudah dimulai dari tradisi filsafat Yunani hingga pemikiran teologi
abad tengah---disebut sebagai fase pertama hermeneutika klasik.Disini
hermeneutika sudah menghadapi persoalan filosofis karena tidak hanya merupakan
sebuah keahlian teknis dalam menafsirteks tertentu (techne hermeneutikhe)
sekaligus berhadapan dengan persoalan tentang pemahaman dalam arti yang lebih
luas---Inilah yang diangkat dalam pemikiran Aristoteles dalam Peri Hermeneia.Pada tahapan ini sudah
dihasilkan dua arah kajian hermeneutika; sebagai interpretasi atau tafsir
terhadap teks tertentu serta sebagai pemahaman terhadap konsep pemahaman itu
sendiri.Fase kedua perkembangan hermeneutika klasik melaluiSchleiermarcher dan
terutama Dilthey---Dilthey menurut Ricoeur berjasa membangkitkan pertanyaan
fundamental mengenaikeunikan posisi manusia vis-à-vis objek alami, sehingga
kajian terhadap manusia qua manusia harus mengunakan metodologi yang berbeda
dengan ilmu alam. Dilthey mengusulkan sebuah ilmu kemanusian
(Geistesswissenschaften) yang secara epistemologi akan bersaing dengan ilmu-ilmu
alam yang positifistik. Pertanyaan kedua Dilthey yang fundamental adalah kesadaran
historis---bahwa manusia adalah wujud historis yanghanya dapat hidup, dipahami
dan memahami secara historis---dan karena kehidupan selalu dalam konteks maka kebenaran bagi manusia juga selalu dalam
konteks. Namun pertanyaan Diltheymenurut
Ricouer menyimpan residu problema yang tak mampu ia reduksi sendiri: sebagai
mahluk historis bagaimana manusia dapat memahami sejarah secara historis? Bagamana
kehidupan dapat menampilkan diri sekaligus menyingkapkan makna dirinya yang
dapat terpahami oleh wujud historis lain?Persoalan inilah menurut Ricoeur
memicu pertanyaan tentang Ontology of Understanding.Untuk menjawab pertanyaan
paradoks di atas kita harus lebih dulu mengetahuui hakikat manusia sebagai Ada
yang historis, ada yang terjebak dalam arus waktu, Das Sein, Beingand Time.Hermeneutika bukan lagi di arahkan kepada
teks melainkan kepada realitas itu sendiri untuk menemukan eksitensi Ada yang
bersifat historis. Jalan ini oleh Ricoeur
di anggap potong kompas karena melakukan lompatan dari hermeneutika level
metode kepada level metafisika atau ontology.
Ini kemudian dilanjutkan Gadamer dengan memisahkan metode dan kebenaran,
Truth and Method.
Proses okulasiantara metode dengan
metafisika, dari teori keontologi, dari hermeneutika ke fenomenologi harus
dilalui tigatahap; Pertama, level
semantik bahwa bahasa merupakan wahana bagi ekspresi ontologi karena itu poros
yang tidakdapat ditingalkan adalah kajian terhadap struktur bahasa dankebahasaan---mencakup
keseluruhan sistem simbol sebagai hakikat dari berbahasa. Keberbahasaan dalam
tataran normalakan tercakup dalam kajian simbolisme sebagai kajian terhadap segala
sistem bahasa sedang dalam tataran abnormal menjadi kajian psikoanalisisdalam usaha mengungkap makna yang
tak terbahasakan karena terepresi atau pengungkapan makna yang terdeviasi atau
bahkan tereduksikarena kendala dalam sistem komunikasi. Level semantik memiliki perang fundamental menjaga
hubungan antara hermeneutika dengan metode di satu sisi dan ontologi disisi
lain. Hermeneutika sebagai metode, merupakan praktikyang dijalankan agar
terhindar dari langkah memisahkan konsep metode dan konsep kebenaran.
Selanjutnya, memanfaatkan hubungan fenomenologi sebagai usaha menangkap
realitas Ada manusia bukan sebagai
entitas objektif dan estatis melainkan uquivocal dan intensional. Dan terakhir
dataran penampang semantik ini menjadi pintu penghubung antara hermeneutik
dengan filsafat bahasa yang lain dan bahkan filsafat secara keseluruhan.
Tahap kedua,
level refleksi yaitu mengangkat lebih tinggi posisi hermeneutika ke level
filosofis. Kalau level semantik
memungkinkan hemeneutika memijakkan kakinya pada tingkat teknik aplikatif
kebahasaan maka levelrefleksi sebagai tahap lebih tinggi untuk memperoleh
posisi sebagai sebuah filsafat. Posisi itu akan teraih melalui proses ulang
balik antara pemahaman teks denganpemahaman diri. Proses ini berlangsung mirip lingkaran
hermeneutik Schleiermacher---yang satu menghasilkan yang lain dan keduannya dilaksanakan secara bersama. Tujuan hermeneutika
level ini memahami diri sendiri melalui
pemahaman orang lain dengan mengatasi jarak waktu yang memisahkan antara kita
dengan teks. Refleksi tidak terjadi dalam pola Cogito Cartesian dimana entitas
diri adalah sesuatu yang statik dan objektif terkungkung dalam hubungan subjek-objek
melainkan dalam sebuah benturan langsung dalam realitas sebagaimana yang di
istilahkan Dilthey dengan ekspresi kehidupan.Dalam hal ini yang kita gunakan
bukan logika positivistik yang bisa dijungkir balikkan melainkan logika
transindental yang berpijak pada perjumpaan langsung dengan realitas.
Tahap ketiga,
level eksitensial, hermeneutika memasuki
tahapan paling kompleks yaitu tahapan ontology---membeberkan hakikat dari
pemahaman, Ontology of Understanding melalui Methodology of Interpretation.
Pada tahap ini akan tersingkap bahwapemahaman dan makna bagi manusia berakar
pada dorongan-dorongan yang lebih mendasar yang bersifat instingtif: hasrat.
Dari hasrat inilah lahir kehidupan dan selanjutnya bahasa. Untuk menyingkap
realitas hasrat ini sebagai realitas yang tidak disadari---instingtif---Ricoeur
mengajak kita melewati lorong psikoanalisis untuk menemukan The Archeology of Subject---suatu
sumber data diri paling primitif dan mentah---bahwa ontologi pemahaman manusia
juga memiliki akal pada kesadarannya terhadaprealitas yang lebih tinggi dari
kesadaran dari dirinya sendiri, yaitu kekuatan semesta yang teratur, yang
membatasi hasrat-hasratnya dalam batas–batas yang stabil. Selanjutnya, kita
akan memasuki lorong Phenomenology of
The Spirit suatu kesadaran akan adanya kesadaran yang lebih tinggi,
bertujuan (teleologis) dan menyatukan. Pada tahap ini ontologi pemahaman
manusia ditarik pada ujung yang lebih akhir dan bersifat keluar. Lapis terakhir
kita akan menembus lorong Phenomenology
of Religion tahapan paling tinggi---eskatologis---sehingga ontologi
pemahaman manusia ditarikkeatas melampaui masa lalu dan masa depan kearah yang
lebih sakral---yang sakral lebih unggul ketimbang arche maupun telos karena ia
di luar kendali manusia. Dalam posisi ini manusia hanya dapat bersikap pasif
dan menunggu panggilan dari sana.Dengan demikian maka level ontologis dapat
diraih dengan sempurna tanpa kehilangan pijakan level metodologi yaitu melalui
interpretasi. Sehingga ontologi yang kongkrit dan wajar bagi hermeneutika
bukanlah Ontology of Understanding secara langsung dalam dirinya sendiri
melainkan sejauh yang kita jangkau melalui interpretasi---Ontology of Interpretation.
Dengan ketiga tahapan ini, hermeneutika
tidak meletakan pantatnya dikursi metafisika dengan tenang, anggun dan aman
tanpa harus melakukan lompatan yang intuitif melainkan tetap prosedur
metodologis.Setelah menyingkapkan postur hermeneutik yang berpijak di metode
meliuk di filsafat dengan logika transenden, serta menjulang menjangkau
metafisika alias ontology.
3. Teks dan Teori Interpretasi
Menurut Ricoeur, tugas utama
hermeneutika untuk memahami teks. Teks menjadi sentral karena teks; any discourse
fixed writing. Dari definisi singkat ini
perlu mengetahui apa yang dimaksud Ricoeur dengan discourse sebelum memahamiwriting.Discourse menurut Ricoeur
merujuk kepada bahasa sebagai event---bahasa yang membicarakan tentang sesuatu.
Pengertian ini di ambil Ricoeur dari filsuf bahasa seperti Austin dan Beardsley
yang membagi bahasa kedalam dua sifat yaitu; bahasa sebagai meaning dan bahasa sebagai
event. Bahasa sebagai meaning adalah dimensi non-historis, dimensi statis,
sedang sebagia event adalah dimensi yang hidup dan dinamis atau dalam ungkapan
Ricoeur; bahasa selalu mengatakan sesuatu sekaligus tentang sesuatu.Gampangnya,
discourse adalah bahasa seketika ia di gunakan untuk berkomonikasi yang terfiri
atas dua jenis artikulasi discourse; bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa
lisan membentukkomunikasi langsung dan metode hermeneutik tidak terlalu
diperlukan, karena ujaran yang
disampaikan (speech) masih terlekat langsung kepada pembicara dan makna ujaran bisa
dirujuk langsung kepada intonasi maupun gerak isyarat (gestures) dari si
pembicara.Sedang teks merupakan sebuah korpus yang otonom.Ricoeur menganggap sebuah
teks memiliki kemandirian totalitas yang dicirikan empat hal. Pertama; dalam sebuah teks makna yang
terdapat pada “apa yang dikatakan (what is said)”terlepas dari proses
pengungkapannya (the act of saying ), sedang dalam bahasa lisan kedua proses
itu tidak dapat dipisahkan. Dalam sebuah dialog, maksud seorang pembicara bukan
hanya ditunjukkan oleh ucapannya, melainkan juga intonasi, mimik maupun
gerstures-nya. Kedua; dengan demikian
makna sebuah teks tidak lagi terikat kepada pembicara, sebagaimana bahasa lisan.
Apa yang dimaksud teks tidak lagi terkait dengan apa yang awalnya dimaksud
penulis---bukan berarti bahwa penulis tidak lagi di perlukan, Ricoeur mengatakan tentang “ kematian
penulis”, akan tetapi maksud penulis terhalang oleh teks yang sudah membaku.
Yang tidak kalah menarik, Ricoeur menganggap bahwa penulis lebih merupakan
“pembaca pertama. “Ketiga; karena
tidak lagi terikat pada sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidaklagi
terikat kepada konteks semula (ostensive reference), ia tidak terikat pada
konteks asli dari pembicaraan. Apa yang ditunjuk oleh teks, dengan demikian,
adalah dunia imajiner yang di bagun oleh teks itu sendiri---dalam dirinya
sendiri maupun dalam hubungan dengan teks-teks yang lain. Terakhir; dengan demikian juga tidak lagi terikat kepada audiens
awal, seperti bahasa lisan terikat kepada pendengarnya. Sebuahteks ditulis
bukan untuk pembaca tertentu tetapi siapa pun yang bisa membaca dan tidak terbatas
pada ruang dan waktu. Dapat dikatakan pula bahwa sebuah teks membangun hidupnya
sendiri, karena sebuat teks adalah sebuah monolog.
Penjelasan Ricoeur terhadap konsep teks
menjadi revisi terhadap konsep Dilthey tentang Explanation dan Understanding.
Dilthey menganggap penjelasan adalah karateristik kerja ilmu alam mengungkapcara
kerja fenomena alami yang pasti dan tanpa intensi. Pemahaman adalah cara kerja
ilmu humaniora mengungkap perilaku manusia yang sangat kompleks, tidak
kausalistik,dan memiliki dimensi intensionalitas. Kedua metode itu bekerja secara mutual
exclussive. Menurut Ricoeur,keduacara kerja metodologis tersebut tidak bisa
dipisahkan secara dikotomis. Dengan menerapkan pada persoalan hubungan antara
metafor dan teks sebagai kodifikasi bahasa lisan dan bahasa tulis,Ricoeur
menunjukan bagaimana penjelasan dan pemahaman dapat diterapkan pada sisi yang
berlainan. Penjelasan (explanation) adalah cara kerja yang menghubungkan
metafor kepada teks, yaitu pembakuan bahasa lisan kepada bahasa tulis sementara
interpretasi (interpretation) adalah cara kerja dari teks kemetafor, yaitu
transkripsi dari bahasa tulis kebahasa lisan.Denga kata lain, bahasa sebagai
meaning adalah sebuah sistem tanda yang memiliki konstelasi internal, yang baku
dan objektif. Di sini Ricoeur meminjam
teori para strukturalis mulai dari dikotomi langue dan parole dari Ferdinand de
Saussure, sturkturalisme filosofif-antropologis dari Claude Levi-strauss hingga
analisis strutural sastrawinya Rolland Barthes dan A.J. Greimas.Bahasa memiliki
hukum- hukum yang baku, yang bekerja mirip dengan hukum alam. Ini adalah
pengertian kata- kata dalam kamus atau ensiklopedi---yang sudah bermakna
tunggal dan baku. Dalam aspek inilah metodologi yang digunakan adalah
explanation.Sedang bahasa sebagai event atau discourse adalah penampang bahasa
yang terikat pada konteks.Disini bahasa menjadi multi-interpretable, hingga
tidak mungkin ada objektifitas, apalagi pembakuan.Di sinilah lanjut Ricoeur
tempatnya metode interpretation sebagai bentuk utama dari understanding.
Ricoeur hanya menempatkan explanation
dan interpretation pada satu domain--- yaitu Geisteswissenchaften---tetapi
tetap saja keduanya adalah dua prosedur yang berbeda dan bekerja secara
terpisah. Untuk ini Ricoeur mengajukan prosedur kerja ”Depth Semantic” dengan
menempatkan kedua prosedur metodologis tersebut dalam sebuah garis linier. Menurut Ricoeur, analisis explanation bisa digunakan
sebagai tahap awal menkaji dimensi statis teks sedang interpretation selanjutnya menangkap makna kontekstual dari
teks tersebut.Bagi Ricoeur, istilah makna kontekstual bukan lagi mengacu kepada
asbabul wurud dari teks bersangkutan---karena teks itu sudah memiliki makna
internal yang objektif dan tidak lagi ditopang oleh intensional psikologis dari
penulisnya. Dalam sebuah pembacaan teks, seorang pembaca tidak lagi masuk
kedalam teks untuk melakukan rekonstruksi psikologis kepada pengarang dan tidak
pula menarik teks ke dalam pre- understandingnya sendiri.Yang terjadi adalah
seorang pembaca membuka dirinya di hadapan teks yang juga membuka diri. Makna
sebuah teks tidaklah ada dibalik atau di belakangnya melainkan didepannya.
4.
Sejarah sebagai teks
Ricoeur
memperluas konsep teks bukan hanya pada
bahasa yang mengendap pada tulisan melainkan juga kepada setiap tindakan
manusia yang memiliki makna yaitu setiap tindakan yang disengaja untuk mencapai
tujuan tertentu. Dalam hal ini ia meminjam teori Max Weber tentang Sinnhaft Orientiertes Verhalten.
Tujuan Ricoeur dalam teori ini membangun sebuah epistemologi baru bagi ilmu-ilmu
sosial maupun humaniora. Berdasarkan pendalaman hermeneutik sebagai kajian
terhadap teks, Ricoeur menganggap bahwa(1) objek dari ilmu- ilmu sosial dan
humaniora memiliki karakter sebagai teks ; dan (2) dengan demikian metodologi
kajian untuk itu haruslah berupa kajian yang menyerupai kajian interpretatif
(Auslegung) yang ada pada hermeneutika.
Ricoeur
selanjutnya menjelaskan bagaimana realitas sosial atau sejarah, memiliki persamaan karakter dengan
defenisinya mengenai teks. Pertama; Fixation of Action, yaitu bahwa realitas
sosial baru akan dapat dijadikan sebagai objek kajian ilmiah sejauh ia
terbakukannya discourse dalam tulisan.
Sedang pemahaman pada realitas sosial yang belum
terbakukan---pristiwa-pristiwa yang datang dan pergi---disebut Knowledge
Without Observation, yaitu pengetahuan tentang bagaimana diri realitas sosial
dan bukan apa.The Ouotomatiozation
of Action bahwa tindakan sosial Kedua, kita memiliki makna objektif (kenyataan) dan bukan hanya tergantung kepada
maksud---sebagaimana makna teks yang sudah tidak lagi tergantung kepada
intensitas psikologis pengarang. Pada tindakan sederhana memang masih
memungkinkan hubungan langsung antara pelaku dengan perbuatannya namun dalam
peristiwa sosial yang kompleks yang memiliki dampak luas maka hubungan antara
maksud dengan hasil tindakan semakin menjauh. Misalnya seorang pemimpin politik
tidak dinilai dari tujuan kebijakan melainkan hasilnya. Ketiga; dari realias sosial
yang memiliki karakter teks adalah keterlepasannya dari konteks awal tindakan----atau
dalam ungkapan Ricoeur adalah Relevance and Importance. Sebagaimana sebuah teks
tidak lagi di pahami berdasarkan konteks awalnya dan nilai penting (importance) sebuah tindakan sosial tidak
terikat baku dengan nilai pentingnya (relevance). Maksudnya, bahwa sebuah
tindakan bisa bermakna lain bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda dan iu
adalah pemahaman yang absah dilakukan. Sering terjadi dalam proses hermeneutika
judicial dimana makna sebuah tindakan di perdebatkan dengan mengaitkannya
kepada konteks-konteks yang berlainan. Terakhir,
penampang dari meaningfull action yang menyerupai penampang sebuah teks adalah
keterbukaannya kepada makna-makna baru---human action as “ open” work---yang
identik dengan karakter teks yang juga equivocal (sebuah teks tidak lagi
terikat kepada audens awal dalam suatu proses dialogis bahasa lisan) demikian
juga sebuah perbuatan tidak hanya dapat dinilai oleh orang-orang yang menjadi
saksi mata. Sebuah tindakan menjadi terbuka untuk selamanya bagi para penanggap
baru yang datang dari ruang waktu.Yang menjadi hakim bagi sebuah tindakan atau
realitas sosial bukan hanya orang-orang dari zaman itu, melainkan sejarah itu
sendiri.Dengan demikian, proyek hermeneutika fenomenologis Ricoeur merupakan
sebuah jalan panjang dan ambisius, bukan hanya menjembatani hubungan antara
hermeneuika meodologis disatu sisi dengan hermeneutika filosofis disisi lain tapi
sekaligus membangun sebuah epistemology baru bagi ilmu- ilmu sosial humaniora.
Epistemology tradisional, melainkan lebih pada epistemoligi kritis yang kita
jumpai dalam pemikirandari Karl – Otto Apel maupun Jurgen Habermas.
5. Penutup
Ricoeur menawarkan sebuah proyek dari
yang merangkum ilmu dan filsafat terlepas dari berbagai kemungkinan kelemahan
yang ada.Konsep ini tanpak begitu menjanjikan sehingga banyak pemikiran ingin
mencoba menggunakannya. Dalam wilayah studi islam, Hassan Hanafi adalah nama
besar yang telah melakukan berbagai gebrakan yang mencerahkan bagi pemikiran
islam kontemporer. Yang lebih belakangan lagi, ada juga Farid Esack, yang
begitu yakin mengargumentasikan bahwa hermeneutika adalah pisau tajam untuk
membangun wacana pembebasan dan pluralism. Pendekatan Ricoeur ini seolah
menjadi harapan untuk member wawasan baru bagi kajian- kajian ilmu sosial
humaniora yang hingga kini masih bergula mencari jai diri termasuk studi agama.
Sumber ;
Paul Ricour, Teori Interpretasi; Membelah Makna
dalam Anatomi Teks,IRCiSoD,
Yogyakarta, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar