- Kebenaran teks-teks ketuhanan tidak mungkin bertentang dengan akal budi, keduanya saling menguatkan dan mendukung karena keduanya anugerah Tuhan --- Ibn Rusyd
- Manusia yang paling sempurna bukanlah manusia dengan otak yang sempurna melainkan yang dapat mempergunakan sebaik-baiknya dari bagian otaknya yang kurang sempurna --- Aristoteles
A.
Pendahuluan
Nama lengkap Abu
al-Wahid Ibn Rusyd (penulis Barat menyebut: Averroes) asal Cordova ---masa
kerajaan raja Magrib, Al-Manshur Ya’qub---salah satu kota terbesar di Andalusia
sebelum disebut Spanyol. Ibn Bassam mengatakan: “Cordova merupakan tujuan
terakhir, pusat kebanggaan, ibu kota, tempat yang tenteram bagi orang-orang
mulia dan orang-orang bertaqwa dan negeri bagi orang-orang cerdik pandai, kota
terpenting diantara kota-kota lainnya, tempat tersebarnya berbagai macam ilmu,
qubbah al-islam (pusat peradaban islam), tempat munculnya pemimpin agama,
tempat berkembangnya pemikiran yang lurus, ladang yang menghasilkan banyak
intelektual dan laut yang menghasilkan cendikiawan yang cemerlang, dari
langitnya muncul bintang-bintang bumi, bintang-bintang zaman, dan pendekar
puisi dan prosa. Di sana disusun dan ditulis karya-karya yang menakjubkan.
Khalifah Al-Hakam
(Al-Mustansir Billah Bin Abdulrahman al-Nashir Lidinillah, wafat 366 H),
menaruh perhatian besar kepada ilmu. Ia mengirim orang untuk mencari (membeli)
buku-buku ke wilayah timur, seperti Baghdad dan Mesir dan sebagai akibatnya
banyak orang dalam kesehariannya bergerak dengan sungguh-sungguh menggeluti
ilmu-ilmu kuno (karya-karya warisan yunani) dan mempelajari pandangan mereka.
Ia juga mendorong para cendikiawan agar bergabung dengannya, dan ia juga
menyediakan tempat tinggal serta perlindungan bagi mereka dari tindasan kaum fanatis.
Keadaan berbalik setelah anaknya (Hisyam) berkuasa dan pengaruh pengawal
pribadinya Abu Umar al-Ma’afiri al-Qahthani memerintahkan para ulama (tokoh
agama) untuk membakar dan menghancurkan buku-buku karya klasik meliputi ilmu logika, astronomi
dan ilmu-ilmu kuno lainnya, selain buku-buku dalam bidang kedokteran dan
hitung.
Kakek Ibn Rusyd adalah Muhammad bin Ahmad
bin Rusyd al-Maliki, meninggal tahun 520 H, seorang qadhi (hakim) di Cordova, termasuk
seorang faqif, ‘alim dan hafizh dalam bidang fiqh juga seorang ulama madzhab Maliki, mengusai ilmu fara’idh dan
ilmu ushul dan sangat dalam pengetahuannya tentang agama. Sebagimana kakeknya,
ayahnya juga seorang faqih besar. Ibn Rusyd mempelajari kitab Al-Muwaththa’ dari ayahnya secara hafalan. Ibn Rusyd belajar
fiqh tidak hanya dari ayahnya, juga dari Abu al-Qasim bin Basykuwal, Abu Marwan
bin Masarrah, Abu Bakr bin Samhun, Abu Ja’far bin Abdul Aziz dan Abu Abdillah
al-Madzari. Setelah mendalami kajian fiqh dari berbagai guru, ia menyusun kitabnya
yang monumental, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, di sana ia
tuangkan sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat (dalam fiqh) serta alasan
masing-masing.
Kehidupan Ibn Rusyd yang paling penting adalah hubungannya dengan penguasa negeri
Maghrib yakni Khalifah Abu Ya’qub Yusuf bin Abdul Mu’min bin Ali al-Qaisi al-Kumi,
(Khalifah ini memadukan dua hal, yakni mendalami agama, mempunyai sifat wara’
dan taqwa pada satu sisi dan pada segi lainnya keinginannya yang kuat untuk
mempelajari filsafat)---dikenalkan sebagai “sang cucu” oleh Ibn Thufail pemikir
besar yang menguasai berbagi bidang filsafat dan hikmah. Ibn Rusyd adalah seorang faqih, selalu
mengkaji persesuaian antara akal dan syariat atau menggunakan qiyas syar’i,
bahkan digunakan untuk mempertahankan penalaran rasional dan keseimbangan
persesuaian antara filsafat dan agama. Namun kekhawatiran sebagian fuqaha
konservatif dan klaim mereka mengenai agama dan filsafat serta perseteruan
antara pemikir liberal dan ulama konservatif lalu pemikiran Ibn Rusyd dikatakan kafir dan zindiq---didorong
keinginan mereka untuk tampil mengusai suasana intelektual dan menuding
ilmu-ilmu kuno (Yunani) sebagai ilmu terbuang yang tidak boleh digeluti. Ibn Rusyd kemudian diasingkan ke Lausanne,
sebuah tempat di dekat Cordova namun akhirnya Khalifah Al-Manshur mengundangnya
ke Maroko untuk memulihkan nama baiknya dan memberi pengampunan. Hingga akhirnya Ibn Rusyd meninggal dunia
pada malam kamis tanggal 9 Shafar 595 bertepatan tanggal 10 Desember 1198.
B. Ibn Rusyd Dan Aristoteles
Ibn Rusyd mencurahkan pikirannya mempelajari karya-karya Aristoteles sebagai komentar dan membuat
ringkasan. Komentarnya atas karya-karya Aristoteles terdiri dalam tiga macam,
(1) al-syarh al-akbar (komentar besar) (2) al-syarh al-Awsath (komentar
menengah) dan al-Talkhish (ringkasan). Karena
komentar-komentarnya Ibn Rusyd disebut Al-Syarif (komentar atau pengulas).
Aristoteles oleh Ibn Rusyd dipandang
sebagai yang penting di atas semua filosof sebelum maupun sesudahnya. Di dalam
pengantar buku Physica, ia mengatakan; “penyusunan buku ini adalah orang yang
paling berakal, dialah orang yang menyusun buku-buku dalam ilmu logika, fisika
dan matematika dan lain-lain. Alasannya karena buku-buku yang ditulis sebelum
kehadiran Aristoteles dalam bidang-bidang ilmu tersebut masih tidak layak
diperhitungkan. Bahkan dalam ringkasan
buku De Anima, ia mengatakan; Kita bersyukur sekali kepada Allah karena Dia
telah memilih dan memberi kesempurnaan kepada orang tersebut (Aristoteles) dan
menempatkannya pada posisi tertinggi manusia yang tidak dapat dicapai oleh
orang lain setiap masa. Ia terkesan dengan Aristoteles dan melihatnya tidak
membuat kesalahan, sebab ia mengikuti metode burhani (demonstratif).
Jika ia melontarkan
kritik terhadap pandangan orang lain, maka itu disebabkan pandangan tersebut
tidak sesuai dengan filsafatnya serta prinsip-prinsip pemikiran dan filsafat
Aristoteles. Dalam pengantar ringkasan buku Al-sama’ al-Thabi’I ia katakan:
“Yang kami maksudkan dengan pendapat ini adalah agar kita dapat langsung
mengambil buku-buku Aristoteles dan memperbaharui ungkapan-ungkapan ilmiah yang
sesuai dengan pandangan yang paling kuat (paling sesuai) dan kita kesampingkan
pandangan-pandangan tokoh klasik lainnya yang ada padanya. Jika itu kurang
memuaskan dan tidak berguna untuk mengetahui pandangannya, maka kami mengambil
pendapat tersebut di antara pendapat-pendapat para tokoh klasik, karena semua
orang tahu bahwa cara itulah yang paling memuaskan dan menjadi landasan yang
paling kokoh. Yang kami maksudkan dengan itu adalah karena banyak orang menolak
pandangan Aristoteles tanpa mengetahui hakikat pandangan tersebut dan itulah yang menjadi penyebab keengganan orang
untuk mengetahui kebenaran yang ada di dalamnya atau sebaliknya.
Ibn Rusyd membela
pandangan Aristoteles tetapi tidak
terikat dengan teks Aristoteles, karena menurutnya jiwa manusia senantisa
menginginkan kebebasannya, maka jika engkau tidak mengikatnya dengan suatu teks
maka akan engkau ketahui bagaimana ia berbuat dengan kebebasannya menafsirkan
teks itu. Ibn Rusyd membuat komentar karya-karya Aristoteles dan terpengaruh
olehnya, maka ia pun dapat membangun pandangannya sendiri. Terakhir, tampaknya
arah yang tepat dalam kajian mengenai pemikiran Ibn Rusyd dan teori-teorinya
adalah menghilangkan jarak pemisah antara buku Aristoteles, yang dikomentari
dan diringkas oleh Ibn Rusyd dan diberikannya juga pandangan dan
teori-teorinya, dengan kapasitasnya sebagai seorang penulis yang menulis buku
seperti Fashl al-Maqal, Manahij al-Adillah atau Tahafut al-Tahafut. Jika tidak
demikian mengapa sampai Ibn Rusyd tertarik kepada Aristoteles sedemikian rupa
sebagaimana tersebut diatas. Misalnya kita lihat Ibn Rusyd dalam menafsirkan
buku Metaphysica karya Aristoteles. Ketika membahas pandangan Aristoteles tentang
kekekalan alam, Ibn Rusyd langsung menjelaskan kelebihan Aristoteles dari orang
lain, katanya: “Masalah ini merupakan yang paling sulit dan dalam hal itu kami
katakan sekadar daya dan kemampuan kami dan sesuai dengan pendahuluan dan
dasar-dasar yang dikemukakan dalam pandangan tokoh itu yang kami dapati,
sebagaimana dikatakan oleh Alexsander (Murid Aristoteles) bahwa pandangannya
adalah yang paling kecil tingkat kekeliruan dan paling banyak kesesuain dan
kecocokannya dalam masalah wujud, dan paling jauh dari pertentangan.
C.
Pandangannya
Sendiri
Kekhasan pandangan
Ibn Rusyd adalah keyakinannya terhadap dasar-dasar kebenaran rasional dan
ajakan untuk menyesuaikannya dengan filsafat serta mengungkapkan sebagai
panduan berpikir benar. Ibn
Rusyd mengkritik para ulama kalam sebagai pakar jadal (perdebatan) bukan pakar
burhan (pembuktian). Ia juga mengesampingkan tasawuf karena tasawuf khusus untuk golongan tertentu saja. Ibn Rusyd menghendaki dasar-dasar menyeluruh,
umum dan jelas yang mudah membawa akal dalam menentukan hukum terhadap sesuatu
dan pandangan tentang semua maujud. Dengan alasan itu ia menilai pentingnya
logika Aristoteles serta ajaran-ajaran para filosof sebelumnya.
Atas dasar itu juga
ia menyerang orang-orang yang mengingkari pentingnya filsafat dan para
filosof. Ibn Rusyd mengatakan: “Tidak
pantas kita mengacaukan ajakan para filosof seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali,
karena orang berilmu tujuan sesungguhnya mencari kebenaran bukan membuat
keraguaan dan mencela akal : “Jika ada Filosof yang salah dalam mendapat
kebenaran, tidak dapat dikatakan bahwa ia sengaja menutupinya. Jelas bahwa para
filosof itu pada dasarnya adalah mencari kebenaran, dan mereka tidak
menutupinya. Harus dilakukan pemeriksaan dengan seksama mengenai
ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan dan dipergunakan oleh orang-orang dulu
dalam pemeriksaan dan oleh karenanya orang harus mendengarkan pendapat
orang-orang yang berselisih dalam segala hal yang diperiksa, karena ia haruslah
termasuk pendamba kebenaran. Mereka harus mendengarkan argumentasi orang-orang
tersebut selengkapnya agar adil, sebagai mana kata sang filosof tersebut: “hendaknya
orang itu mengemukakan argumentasi kepada lawannya sebagaimana ia
mendatangkannya untuk dirinya sendiri, yakni agar ia berusaha dengan
sunguh-sungguh dalam mencari kebenaran untuk dijadikan pandagannya, atau
menerima argumentasi mereka seperti yang mereka terima untuk diri sendiri.
D.
Wahdah
Al-Wujud
Tentang kesatuan wujud
(Wahdah Al-Wujud) adalah kesatuan antara pelaku dan perbuatannya, pelaku dan
pengaruhnya serta Tuhan dan ciptaan-Nya. Ibn Rusyd menolak pendirian tasybih
(penyerupaan Tuhan dengan makhluk) dan tajsid (penggambaran Tuhan sebagai
fisik) karena ia membangun konsepsinya mengenai segala sesuatu berdasar tawhid,
tanzih, dan tajrid dalam bentuk tertinggi dari konsep-konsep filosofis mengenai
konsep tersebut. Oleh karenanya pembahasan tentang pendiriannya mengenai
masalah (wahdah al-wujud) mengantar pendiriannya kepada hakekat mengenai kaitan
Allah dan wujud.
Semua wujud mempunyai
dua wujud; wujud inderawi (sensible) dan wujud ma’qul (rasionable), demikian juga
bentuk mempunyai dua wujud, yakni wujud ma’qul (rasionable) jika terlepas dari
hayula (materi azali) dan wujud inderawi (sensible) jika masih berada dalam hayula. “Jiwa
adalah esensi (dzat)---bukan jisim yang hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak,
mendengar, melihat, dan berbicara. Adanya kesatuan jiwa, adapun berbilangnya
itu muncul pada materi serta apa-apa yang di tempati jiwa dan merupakan aksiden
yang menjadi tempat kembali jiwa kepada kesatuan. Penyebab adanya jumlah dan
pluralitas adalah materi dan penyebab
kesepakatan pandangan mengenai jumlah dan pluralitas adalah bentuk. Contohnya; si zaid bukanlah si Amr karena pluralitas,
tetapi mereka satu karena bentuk, yaitu jiwa. Andaikan jiwa Zaid adalah bukan
jiwa Amr karena jumlah seperti halnya Zaid adalah bukan Amr karena jumlah,
tentulah jiwa Zaid dan jiwa Amr adalah dua karena jumlah namun satu karena
bentuk. Maka ada jiwa pada jiwa, sehingga dengan sendirinya jiwa Zaid dan Amr
adalah satu karena bentuk dan satu karena bentuk itu berhubungan dengan jumlah
pluralitas, yakni ada pembagian dari segi materi.
Sifat-sifat jiwa; mengetahui,
berkehendak, dan bergerak. Mereka tidak melihat bahwa sifat-sifat esensi
itu tidak menjadikan benda yang disifati itu secara aktual menjadi banyak,
melainkan menjadi banyak oleh sebab banyaknya yang terbatas karena adanya
bagian-bagian batasan---pluralitas dalam ide, bukan pluralitas aktual di luar
jiwa. Benda-benda menjadi banyak karena materi substansial (al-hayula
al-jawhariyah) sedang perbedaan benda-benda tersebut karena aksidennya, bagi
mereka bukanlah perbedaan substansial, baik kuantitas maupun kualitas, dan
berbagai segi lainnya. Pendirian Ibn Rusyd cenderung kepada adanya kesatuan
jiwa secara aktual meskipun berbilang dalam bentuk karena materi dan tempat.
E.
Wujud
yang Hidup
Ibn Rusyd
berpendapat bahwa benda-benda langit adalah hewan (mahluk hidup). Bahkan benda mati (jamud) mempunyai perbuatan
meskipun tidak muncul dari akal, “Bahwa benda mati jika dikatakan tidak
mempunyai perbuatan, sesungguhnya yang tidak ada padanya adalah perbuatan yang
muncul dari akal dan kehendak, bukan perbuatan absolut”. Semua benda langit
digerakkan oleh partikulir yang menyerupai partikulir anggota tubuh pada satu
hewan dan gerakannya partikulir. Gerakan esensial bersumber dari tabiat jisim
yang hidup, bukan dari selain itu. Katanya: “Sesungguhnya semua bola (planet)
di langit itu hidup, dalam arti mempunyai Jisim
dengan ukuran dan bentuk tertentu, bergerak dengan esensinya dari arah
tertentu, bukan dari sembarang arah yang dikehendaki. Jika kita melihatnya sebagai jisim dengan
kuantitas dan kualitas tertentu, ia bergerak dari esensinya pada tempat dari
sisi tertentu bukan dari sesuatu yang berada di luarnya, juga bukan dari salah
satu segi-seginya yang dikehendaki.
Semua maujud (yang ada di alam) ini
karena melampaui tabiat rasional mangarah kepada persatuan, sebagaimana yang
ada pada Allah yaitu dzat yang tidak bersusun. Bahkan jisim-jisim yang tidak
hidup mungkin dapat naik ke arah dzat tertinggi
itu sepanjang ia melampaui yang lain atas tabiat rasional, sehingga semua benda
mengingikan persatuan bersama salah satu esensi (makna) sesungguhnya yang
menyatukan hakikat bersama esensi Tuhan dan tidak ada yang dapat bersatu
bersamanya kecuali sesuatu yang satu.
Pemikiran Ibn Rusyd mengenai
kesatuan alam menyerupai seekor hewan
dan pembicaraan mengenai potensi spiritual yang berlaku padanya, ikatan dengan
seluruh bagian-bagiannya, yaitu potensi yang kita sebut “akal”, “aturan”, “penggerak” dan “tujuan”. Ia
mengtakan: “Seluruh benda langit gerakan partikulirnya menyerupai anggota badan
hewan yang terdiri dari bagian-bagian (partikukar) serta gerakan-gerakan
partikularnya. Para filosof meyakini adanya keterkaitan benda-benda langit antara
satu dengan lainnya dan kembali kepada satu jisim, satu tujuan dan kerjasamanya
dalam satu perbuatan---bahwa alam ini seluruhnya kembali kepada sebab yang
satu”. Selanjutnya: bahwa keadaan sebab-sebab yang terpisah dan yang tidak
terpisah melimpah dari Sebab Pertama. Dengan pelimpahan potensi yang satu itu
berarti alam seluruhnya adalah satu, dan dengan potensi itu pula
bagian-bagiannya terkait sehingga seluruhnya mengarah kepada satu perbuatan, sebagaimana keadaan pada badan seekor hewan
yang berbeda-beda potensi dan perbuatannya. Menurut para cendikiawan hal itu
menjadi satu maujud karena satu potensi yang ada padanya yang melimpah dari
yang Pertama. Mengenai hal itu mereka sepakat bahwa langit seluruhnya adalah
seeokor hewan dan gerakan sehari-hari yang ada pada keseluruhannya merupakan
gerakan universal pada tempat bagi hewan. Gerakan-gerakan pada bagian-bagian
langit seperti gerakan-gerakan partikulir pada anggota badan hewan. Mereka
berargumentasi bahwa pada hewan ada satu potensi yang karenanya hewan menjadi
satu dan karenanya pula semua potensi yang ada padanya melahirkan satu
perbuatan yaitu untuk keselamatan hewan tersebut. Potensi tersebut berkaitan
dengan potensi yang melimpah dari Sebab Pertama, jika tidak demikian maka
bagian-bagiannya akan bercerai berai dan sedikit pun tidak tersisa. Jika pada
hewan harus ada satu potensi spiritual yang berlaku pada semua bagiannya maka
macam-macam potensi dan jisim yang ada padanya adalah satu, sehingga mengenai
jisim yang ada padanya bahwa ia adalah satu jisim. Mengenai potensi yang ada padanya bahwa ia
adalah satu potensi.
Ibn Rusyd telah menyatakan adanya
kesatuan rasional pada wujud yang dapat kita jumpai pada Talkhish Ma ba’d
al-Thabi’ah, Tahafut al-Tahafut dan Fashl al-Maqal. Ibn Rusyd berpendapat bahwa
sebab pertama adalah akal. Menyatamakan
antara ‘aqil (akal pikiran) dengan
ma’qul (yang dipikirkan). Sebab pertama atau akal itu ketika memikirkan dzat-Nya
sendiri, sebab yang lain sama sekali itu pada dzat-Nya yang maha mulia.
Dzat-Nya adalah yang lain dan yang lain adalah dzat-Nya. Ibn Ruyd berpendapat
adanya kesatuan wujud lebih dari kesatuan rasional dan dia menjadikan sebab
Pertama itu sebagai wujud sesuatu yang satu, baik menurut pengertian akal
maupun secara empiric, dari ajaran Aristoteles mengenai kesatuan wujud tersebut
yang member makna wujud pada wujud. Ia mengatakan: “kesatuan itu bervariasi
adanya pada yang maujud sesuai dengan karakternya dan dari kesatuan dan
pemberian itu diperoleh adanya wujud pada tiap-tiap yang maujud dan
masing-masing meningkat kepada kesatuan pertama, seperti apa yang dihasilkan
oleh panas yang terdapat pada tiap-tiap maujud, yaitu segala segala yang panas
dari yang panas, yakni api dan meningkat kepadanya”, karena itu Aristoteles
memadukan antara wujud empirik dan wujud rasional. Katanya: “Alam ini satu dan
berasal dari yang Satu, yang Satu itu dari satu sisi merupakan penyebab
terjadinya kesatuan dan dari sisi lain menjadi penyebab terjadinya pluralitas”.
Pendiriannya terhadap Wahdah Al-Wujud bahwa yang benar adalah orang-orang yang
berpendapat bahwa dzat Allah adalah wujud dan maujud semuanya, penyebab
pertama, akal, aturan dan penggerak adalah semua yang dipikirkan, yakni wujud
itu sendiri. Ia adalah jiwa yang berlaku pada wujud yang hidup, yakni kejadian
dan alam ini. Dengan demikian konsepsi
Ibn Rusyd mengenai azali dan kekalnya alam di samping pandangannya tentang
kesatuan dzat dan alam, adalah bahwa semua itu bagi kita menjadi konsep yang
saling melengkapi. Hal itu kita anggap sesuai sepenuhnya dengan konsep filsafat
materialisme mangenai persoalan tersebut, setidaknya mengenai apa yang
berkaitan dengan asas-asas, substansi serta pembagian terpenting. Batas pemisah
yang jelas antara materialisme dan idealism; Oleh kaum materialisme melihat
pemikiran, kesadaran, dan pengetahuan sebagai kebalikan dari kenyataan objektif
yang ada dalam bentuk tersendiri di luar pikiran manusia. Karena itu mereka
berpendapat mengenai hubungan kausalitas yang berlaku pada kenyataan obyektif
sebagai hubungan substansial yang menunjukkan keterkaitan yang niscaya antara
sebab dan musabab. Sedangkan filosof idealis berpendapat bahwa di dalam
pemikiran, kesadaran dan pengetahuan ada sumber yang berlainan dengan kenyataan
dan kenyataan itu tidak mempunyai wujud obyektif tersendiri di luar pikiran
manusia. Karena itu mereka mengembalikan pertumbuhan wujud ini kepada
“pemikiran”, dan membangun terori yang berbunyi “di permulaan terdapat kata”
sebab mereka menolak adanya kausalitas atau mengingkari adanya hubungan yang
niscaya antara sebab dan musabab. Mereka melihat hal itu sekedar sebagai
“hubungan”, “kebiasaan” atau “kebetulan” yang terjadi secara berulang-ulang dan
terus-menerus.
Alcapone, 07 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar